Aku pernah berjanji akan mempost cerita yang kubuat untuk Putra. Sekarang aku datang untuk memenuhi janji. Cerita aslinya sendiri adalah novel yang kutulis, jadi harap maklum kalau tulisannya panjang. Dan tulisanku ini juga pernah ku ikutkan ke dalam sebuah lomba.
Aku sendiri sedang tidak punya waktu untuk menulis karena harus bolak balik ke rumah sakit. Harap maklum ya....
Dan mungkin selama beberapa hari ke depan aku akan jarang blogwalking, tapi aku harap teman-teman akan tetap mau berkunjung ke sini. Karena tulisan ini akan terbit setiap hari, jam 11 siang.
Selamat membaca...
1
Matanya memandang bayangan di luar jendela sambil melamun. Menatap bangunan ruko dan pohon-pohon yang baru ditanam di sepanjang jalanan. Di helanya nafas panjang, keras. Ayahnya yang sedang menyetir menoleh sekilas. Kemudian mencolek bahu anaknya.
“Udah mau sampe Win, jangan melamun.”
Yang ditegur terkaget sendiri. Dengan kikuk di ambilnya tas dari jok belakang mobil. “Iyah... Winna tau.”
Mobil berhenti di depan gerbang. Winna membuka pintu mobil, kemudian mencium tangan ayahnya. “Dah... Nanti Winna pulang sendiri. Ga usah di jemput.”
“Hati-hati, jangan sampai kecopetan lagi kayak dulu.”
Winna meringis pelan. Selalu saja ia diberi pesan-pesan semacam itu tiap kali hendak pergi. Mungkin inilah nasib menjadi seorang anak tunggal. Seringkali diberi perhatian berlebih yang membuatmu capek dan kesal.
Kemudian Winna menutup pintu mobil dan melambaikan tangannya. Setelah mobil ayahnya pergi, Winna melangkah masuk ke dalam sekolah. Lapangan hijaunya tak pernah berubah. Lorong-lorong sekolah yang kuno terlihat ramai dipenuhi murid baru. Beberapa diantaranya masih terlihat kikuk dengan lingkungan barunya.
Gadis itu melamun lagi. Waktu terasa begitu cepat. Kini ia duduk di kelas XII. Kelas yang akan menjadi tahun terakhirnya di SMA. Tahun yang harus dilaluinya dengan penuh kenangan agar ia tak pernah merasa menyesal. Tanpa sadar Winna tersenyum sendiri.
“Win!”
Panggilan itu meyadarkan Winna dari lamunan. Dilihatnya Zia melambaikan tangan dari arah papan pengumuman yang masih agak sepi. Winna membalas lambaian Zia dan mendekati temannya itu. Winna dan Zia sekelas di kelas XI, dan berarti mereka juga akan sekelas lagi ditahun terakhir ini.
“Ada yang berubah nggak dari kelas kita?”
Zia menggeleng lucu. “Ada satu tamu baru aja.”
Di sekolah ini, saat naik kelas XII memang tidak diacak lagi kelasnya. Jadi para murid akan sekelas dengan orang yang sama sampai lulus nanti.
Zia menujuk nama di barisan paling bawah. Maya.
Mata Winna berputar. Kemudian menatap secara keseluruhan kertas pengumuman yang di tunjuk Zia. XII IPS 2. Matanya menelusuri absen demi absen di sana.
“Aku absen 35 lagi,” Winna menggembungkan pipinya, “kenapa sih mesti absen bawah mulu. Sebel.”
“Kalau gitu ganti nama aja, hihihi...” Zia tertawa.
Winna ikut tertawa. Kemudia matanya menangkap nama di atas absen temannya itu. “Kamu sama Fandi urutan lagi absennya?”
Zia tersenyum salah tingkah. “Iya. Kan namanya urutan. Fandi sama Fauziah.”
“Seneng dong...” goda Winna lagi.
“Udahan ah! Cari kelas kita aja yuh.”
Winna tetap tertawa. Gadis itu senang melihat temannya yang sedang jatuh cinta itu malu.
Saat berbelok di ujung lorong, Winna menangkap bayangan wajah seseorang di depan kelas XII IPA 2. Gadis ini tersenyum kecil dan menarik nafas. Kemudian melewati orang tersebut dengan cuek, seolah tak ada apa-apa.
Widhi yang sesaat tadi merasa sedang di amati reflek menoleh. Dilihatnya gadis yang barusan melewatinya tanpa suara itu menjauh. Matanya perlahan menyipit, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mengingat masa lalu.
“Hoi... kenapa Wid?”
“Nggak.” Widhi tersenyum pada dirinya sendiri.
^^^
“Gelap banget ya? Agak pengap lagi.”
Winna memandang kelasnya yang sekarang. Zia mengganguk setuju, sambil berjalan ke arah bangku kosong di baris ketiga.
“Aku duduk sini. Kamu mau di mana Win?”
Bersamaan dengan pertanyaan Zia, seseorang masuk ke dalam kelas. Fandi. Winna tersenyum. Sementara Zia membuang muka, pura-pura tak melihat.
Fandi juga teman sekelas mereka. Dan Zia sudah suka padanya sejak masih kelas X. Yah, dia juga pintar sih. Pintar pelajaran dan setahu Winna suka fotografi. Tapi banyak anak yang bilang kalau dia orangnya cuek.
Winna meletakkan tasnya, kemudian beranjak duduk di sebelah Zia.
“Kok dia dicuekin sih?” bisik Winna.
“Terus aku harus ngapain?” Zia menjawab sambil berbisik juga. Winna berdiri.
“Jalan-jalan yuk? Ngobrol di luar.”
Kedua gadis ini berjalan di lorong sekolah. Mengobrol banyak hal. Kehidupan, cita-cita, cinta, mimpi dan masa depan. Mereka belum tahu apa yang akan terjadi. Atau apa yang menunggu mereka. Menunggu persahabatan mereka, atau perpisahan mereka...
^^^
Dua bulan kemudian....
Winna meletakkan kepala di atas mejanya, berbantalkan tangan. Tidak peduli dengan guru yang sibuk bercuap-cuap menjelaskan entah apa di depan kelas. Rara, teman sebangkunya sibuk dengan kacanya.
Ia menghela nafas panjang. Pikirannya dengan mudah berkelana. Memikirkan begitu banyak hal yang terus bersliweran di dalam otaknya.
Ujian kelulusan yang tinggal 8 bulan lagi, pelajaran yang semakin sulit masuk dan dicerna otaknya yang pas-pasan, dan masalah hati. Matanya melirik keluar pintu, ke arah bangku koridor seberang. Seketika jantungnya seperti melompat. Ada Widhi disana.
Seperti sadar sedang diperhatikan Widhi menoleh. Winna seketika gelagapan, buru-buru mengalihkan pandangannya. Winna menghela nafas sekali lagi. Dulu ia memang sempat suka pada Widhi. Tapi hanya sekedar suka saja. Tak pernah ada niat untuk dekat atau menyatakan perasaan sama sekali.
Dan Winna ingat sendiri, dulu ia bernah berjanji pada diri sendiri untuk melupakan Widhi. Melupakan bahwa ia pernah jatuh cinta pada pemuda itu. Winna menggigit bibir perlahan.
“Kenapa belum bisa lupa sih...” gerutu Winna pada dirinya sediri.
“Winna Adiningtyas.”
Winna yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri itu sama sekali tak menyadari panggilan guru barusan. Rara meletakkan kacanya dan menyenggol siku gadis itu. Berhasil. Winna menoleh. Bibirnya mengucap “apa” tanpa suara.
“Winna Adiningtyas.” Sekali lagi Bu Yani memanggil dari depan kelas.
Winna tersentak dan langsung menegakkan badan dalam satu gerakan. Melihat Bu Yani ‘tersenyum’ di depan kelas, Winna meringis.
“Kenapa kamu nggak memperhatikan pelajaran, Winna Adiningtyas? Kamu ngantuk?”
Otomatis Winna menggeleng. “Nggak Bu.”
“Terus kenapa?”
“Anu,” Winna menggaruk kepalanya, “cuma melamun biar nggak ngantuk aja Bu.”
Jawaban Winna yang tanpa berpikir itu spontan membuat teman sekelasnya cekikikan.
“Itu sama aja. Sekarang kerjakan jurnal umumnya di depan kelas. Cepet.”
Ogah-ogahan Winna meraih kertas soal fotokopian di meja, kemudian maju ke depan kelas.
Ini akan jadi hari yang panjang dan melelahkan, batinnya perlahan.
^^^
Bel pulang sekolah berbunyi. Winna yang hampir tertidur di kelas karena ceramah panjang guru agama tersadar. Matanya yang sendari tadi sipit kembali membuka lebar. Rara sudah berlari keluar kelas. Siap berebut tempat duduk di kelas mereka untuk pelajaran tambahan.
Diam-diam Winna merutuki sistem pejaran yang moving class ini. Buat capek orang saja, batinnya.
Tiap kali bel pergantian pelajaran berbunyi, spontan anak-anak akan berlarian menuju ruang kelas berikutnya. Berebut tempat duduk paling strategis di kelas.Seringkali terjadi tragedi tabrakan kalau lorong sekolah penuh.
Seperti sekarang. Winna memelototi anak kelas X yang tadi menabraknya saat akan masuk kelas. Tasnya yang sengaja tak ditutup jatuh dan memuntahkan semua isinya. Buku tulis dan kertas-kertas fotokopian yang belum distaples bertebaran.
Sekali lagi Winna mengeluhkan sekolahnya yang tidak membolehkan murid memakai buku cetak untuk pelajaran. Sebagai gantinya adalah modul dan kertas-kertas fotokopian pelajaran yang seringkali merepotkan.
Apanya yang sekolah bertaraf internasional, ini sih malah bikin murid boros duit fotokopi, batinnya lagi. Apalagi jika menjelang musim ualangan. Hampir semua fotokopian banjir rezeki.
Setelah sibuk dengan isi tasnya, Winna beranjak masuk. Matanya mencari-cari di mana Rara duduk. Bangku paling belakang. Sambil mendesah pelan Winna berjalan mendekati teman sebangkunya itu.
“Kok di belakang sendiri sih? Aku bisa tidur kalo gitu...”
“Gak papa kan? Aku juga mau tidur rencananya,” Rara menyahut dengan cuek. “Kantin yuk,aku mau makan.”
“Aku haus,” Winna mengekor di belakang Rara.
Sekembali dari kantin, terdengar suara riuh dari dalam kelas. Anak-anak sedang menggoda Zia dan Fandi. Kedua orang itumemang sering dijodoh-jodohkan sejak kelas X gara-gara absen mereka yang selalu berurutan.
Terlihat wajah Zia agak merah, sementara Fandi cuek. Tetap sibuk dengan hp-nya. Winna menatap Fandi sejenak. Orang aneh, sama sekali nggak keganggu sama gosip kayak gitu, batinnya. Kemudian beranjak duduk di tempatnya.
Baru saja duduk dibangkunya, Anita yang duduk di depan Winna membaikkan badan. Tersenyum.
“Ntar kamu les matematika kan, Win?”
Winna mengangguk.
“Berangkat ikut siapa? Aku apa Zia?”
Winna berpikir sejenak. “Kamu. Aku bawa helm kok.”
“Oke...”
Baru akan membuka suara lagi, guru bahasa indonesia masuk ke dalam kelas. Anita buru-buru berbalik, kembail ke tempatnya. Sementara Winna mengeluarkan earphone dari dalam tas, menyambungkan ke Hpnya, kemudian memasangkan ke sebelah telinganya. Yang sebelah lagi langsung di sambar Rara, yang juga ikut mendengarkan musik bernada agak keras yang mulai mengalun. Menghentak dan perlahan mengusir kantuk dan malas yang sempat membebani mata dua gadis ini.
Dibantu earphone dan musik, Akhirnya Winna bisa melalui waktu tambahan dengan selamat, tanpa tertidur walau matanya sudah sangat berat.
Di hampirinya Anita yang sedang mengobrol dengan Zia dan Meta di depan kelas, sambil membuka-buka majalah.
“Berangkat gak?
“Iya...”
2
Fandi keluar kelas dengan tak bersemangat. Ia ingat jadwal les matematikanya hari ini. Ia ingin bolos kalau bisa. Ada tempat yang ingin dipotretnya. Tadi ia sempat melihat Winna, Zia, Anita dan Meta siap berangkat. Fandi memang satu kelompok les dengan gadis-gadis itu.
Ardi menepuk bahu Fandi. “Berangkat gak coy? Mbok telat lho.”
“Iya.”
Di tempat parkir, sepasang mata Fandi dengan mudah menemukan Winna yang sedang mengobrol dengan Anita. Suara tawanya samar-samar terdengar. Fandi tersadar saat Winna balas menatapnya sekilas. Kemudian Naik ke motor Anita dan pergi.
“Aku kenapa sih,” gumam Fandi pelan.
^^^
Les berlangsung agak membosankan menurut Fandi. Di sebelahnya, Ardi sibuk mengobrol dengan Meta sejak tadi. Dia bisa mendengar percakapan dua orang itu dengan jelas. Tentang yearbook. Meta mengoceh tentang betapa malasnya ia menjadi koordinator kelas untuk yearbook. Dan Meta berencana mencari penggantinya.
Fandi tidak peduli. Matanya kembali menatap whiteboard yang penuh dengan rumus. Dari sudut matanya ia melihat Winna menguap. Lagi. Entah sudah keberapa kalinya dalam waktu sejam ini. Gadis itu mengibaskan rambutnya yang panjang ke belakang. Kemudian menopang dagu dengan ekspresi bosan.
Saat guru mereka keluar, Meta mencolek bahu Winna. “Win.”
“Kenapa?” Winna menoleh dan memutar tubuhnya kebelakang.
“Kamu mau nggak gantiin aku jadi koordinator kelas buat yearbook?”
“Hah? Gak mau ah,” spontan Winna menolak.
“Ayolah... sama Fandi juga. Fandi kan jago fotografi, Winna jadi juru bicara. Ya...” Meta tersenyum, “aku capek Win.”
Winna menatap Fandi sebentar. “Kalau gitu boleh deh. Yang penting gak ngurus sendirian,” kemudian tersenyum.
Fandi menghela nafas. Winna masih memandangnya. “Iya deh.”
“Haaa... makasih ya... kalian berdua emang bisa diandalkan.” Meta tampak girang sendiri.
Diam-diam Zia tersenyum miris. “Kenapa bukan aku?” lirihnya.
^^^
Jam les selesai. Fandi melirik Winna yang sedang keluar kelas sambil menelepon. Tangan kiriny memegang hp, sementara tangan kanannya memakai sepatu.
Winna menegakkan badan dan teringat sesuatu. Segera ia mengeluarkannya dari dalam tas dan melambaikannya.
“Aku punya modul komputer, pada mau fotokopi gak?”
“Mau!” Anita langsung menjawab, “yang lain?”
“Kayak gitu kok tanya. Ya mau lah. Yoto!”Ardi menjawa dengan mimik muka lucu yang langsung membuat Anita menendang kakinya.
“Sakit tahu!” Ardi melotot sambil memegang kakinya dengan wajah kesal.
Fandi meraih modul tipis itu dari tangan Winna. “Fotokopi di pinggir jalan sana kan? Buruan yuk.”
“Ayo berangkat!!” Meta berseru dengan semangat.
Di rumah, Fandi membaringkan badan di kasur. Memejamkan matanya. Tadi Winna bisa dengan mudah menerima pekerjaan yang merepotkan ini. Menjadi koordinator kelas yearbook. Hal yang sebenarnya tak ingin dia lakukan.
Tapi saat mengingat rekan kerjanya, Winna. Diam-diam Fandi menyunggingkan senyum. Mungkin menerima permintaan Meta ini bukanlah hal yang buruk. Mungkin ini akan jadi menyenangkan.
Winna. Ia mengingat semua hal yang bisa diingatnya tentang gadis itu.
Mood dan perasaannya mudah berubah. Satu kali dia bisa jadi sangat ekspresif dan ceria. Tapi seringkali juga ia seakan menjadi kura-kura pemalas. Hanya menghabiskan waktu dengan tidur dan melamun di kelas.
Hp yang diletakkannya di atas kasur bergetar pelan. Ada pesan masuk. Buka. Dari teman SMP, Ivan. Mengabarkan kalau dia akan ke gunung hari minggu untuk megambil foto.
Fandi beranjak bangun. Menyalakan laptop dan mulai memilah-milah foto yang ingin dicetaknya besok.
Mungkin bersamanya akan hari-hari ke depan jadi mennyenangkan.
^^^
Fandi keluar dari parkiran sekolah sambil membenahi rambutnya yang sudah agak melewati kerah. Berjalan di koridor sekolah yang masih sepi. Udara dingin pagi masih terasa, memaksa Fandi tetap memakai jaketnya.
Saat tinggal 10 meter dari kelas, Fandi melihat Winna berjalan dengan pelan. Helmnya masih dipakai di kepala, mata dan tangannya berkonsentrasi pada hp yang dipengangnya. Fandi mengangkat kamera yang di bawanya. Mulai memotret Winna. Tiap frame gambar yang di ambilnya entah kenapa membuat nafas Fandi serasa tertahan.
Sadar sedang diperhatikan, kemudian gadis itu mendongak. Tersenyum pada Fandi. Fandi langsung menurunkan kamera dan berjalan menghampiri Winna
“Kok gasik banget Fan?”
“Kayak kamu nggak aja,” Fandi menjawab seadanya. Tapi Winna tertawa.
“Kayak biasanya ya, kamu selalu lebih gasik dari aku. Berangkat dari rumah jam berapa?”
“Sekitar jam 6 mungkin. Kamu sendiri?”
Winna melepas helm dan memangkunya. “Aku insomnia tadi malem. Gak bisa tidur. Jadi bisa berangkat lebih pagi dari biasanya.”
Fandi mengangkat alis, “Insomnia?”
Gadis itu mengangguk, tersenyum lagi. “Sering. Tapi aku nggak papa kok.”
Fandi mengerti. Mungkin inilah alasan kenapa Winna sering terlihat mengantuk dan melamun di kelas. Winna mengeluarkan earphone, memasangnya. Kemudian gadis itu mengambil tempat duduk di sebelah tembok. Duduk dan merebahkan kepalanya di meja.
Fandi menatap siluet tubuh Winna. Mengambil beberapa gambar gadis itu. Dan terheran-heran sendiri kenapa ia melakukan hal itu. Kemudian memutuskan berjalan keluar kelas. Meninggalkan gadis itu sendirian dengan musiknya.
^^^
Winna menyadari kepergian Fandi. Diangkatnya kepala dari atas meja. Kedua tangannya bergerak merapikan rambutnya yang agak berantakan.
“Kenapa sih Zia bisa suka sama orang kayak gitu...”
“Dia bisa di ajak kerja sama nggak ya?”
^^^
Jika aku bisa mati.
Aku akan membawamu bersamaku.
Meleburkan jiwamu denganku.
Menyatukan harapan yang tak pernah padu.
Tak pernah bersatu.
Winna menatap puisi yang ditulisnya sendiri. Masa lalu, bisiknya pada diri sendiri.
Terkadang masa lalu akan menjadi hal yang sangat sulit dilupakan saat kita ingin. Winna ingin membuang semua bayangan yang berhubungan dengan Widhi jauh-jauh. Memang dulu itu kesalahannya sendiri bisa suka pada orang seperti itu.
Pada awalnya, Widhi hanyalah seorang teman sekelas biasa. Namun, dari ucapan seorang teman yang bilang bahwa Widhi sering memandanginya, mau tak mau Winna jadi penasaran sendiri. Ikut memperhatikan Widhi.
Dan akhirnya ia jatuh cinta.
Namun, entah apa yang membuat Winna sama sekali tak bergerak. Winna hanya menjadi pengagum. Sampai waktunya kenaikan kelas merka berpisah karena beda jurusan. Winna menerima nasib masuk ke kelas IPS, sementara Widhi dengan gemilang masuk kelas IPA.
Dan sampai sekarang kadang Winna masih sering memikirkan tentang Widhi. Walau tahu tak akan ada harapan sama sekali untuknya.
Winna merebahkan kepala di meja. Tidak peduli dengan suasana kelas yang ribut dan ramai di sekitarnya. Tak peduli dengan Rara yang berteriak-teriak.
Di ujung lain kelas, Fandi yang sedang mengobrol bersama Kaka dan Aji, sekilas melirik ke arah Winna. Perlahan ia tersenyum kecil. Dilihatnya Winna sedang ditarik-tarik oleh Rara, teman sebangku gadis itu agar mau keluar. Rara mengerahkan semua tenaganya dan berhasil. Winna jatuh dari kursi.
Winna melotot memandang Rara yang tertawa.
“Gak usah tarik-tarik dong! Sakit tahu.”
“Abis kamu nggak mau bangun. Keluar yuk, aku mau curhat.”
“Di sini aja curhatnya,” Winna membersihkan roknya dan berdiri, “aku males keluar.”
“Malu ah,” Rara menolak sambil tetap memengang sebelah lengan Winna, bersiap menariknya lagi.
“Tumben. Biasanya gak punya malu,” celetuk Winna yang langsung menghindar sebelum Rara mengamuk.
“Winna!!”
Setelah menghindari serangan Rara, Winna bergabung dengan teman-temannya di luar kelas. Di tatapnya Zia.
“Zi...”
Zia menoleh, “Kenapa?”
“Kok kamu bisa suka sama Fandi sih?”
Zia tersedak Ale-ale yang sedang di minumnya. Memandang Winna dengan panik.
“Jangan keras-keras dong,” Zia melirik sekitarnya dengan gelisah.
“Kenapa bisa suka?” Winna mengulangi pertanyaannya.
“Awalnya sih karena dijodoh-jodohin anak sekelas pas kelas X. Tapi lama-lama aku jadi suka beneran,” pandangan Zia menerawang, “tapi aku nggak berani buat bilang. Aku Cuma bisa kayak gini. Diam-diam suka sama Fandi.”
Winna menatap temannya dengan pandangan gemas. “Zia... manis banget sih kamu...”
Zia tertawa malu-malu.Kemudian, anak-anak lain sibuk menggoda Zia sampai gadis itu kehilangan kata-kata.
Winna tersenyum. Membuang pandangannya. Tanpa sadar ia melihat Fandi sedang memperhatikan dari balik jendela. Winna tersenyum, membuat Fandi kaget dan langsung membuang muka.
“Dasar orang aneh,”gumam Winna pelan.
bersambung...
Msih bolak balik ke Rumah Sakit? Kakak sepupunya belum sembuh ya?