Story - Part 3
Di goreskan oleh Yunna , Rabu, 02 Februari 2011 11.00
5
Winna menatap wajahnya di cermin. Lingkaran matanya terlihat agak hitam. Wajar saja, semalaman ia tidak bisa tidur. Winna menepuk pipinya. Berdoa agar ia baik-baik saja hari ini. Semoga ia tak pingsan gara-gara kurang tidur.
“Win, sarapan.”
Teriakan ibunya menyadarkan Winna. Gadis ini menguncir rambutnya, meraih jaket dan bergegas keluar kamar. Di ruang makan ia melihat ayahnya, masih memakai sarung dan kaus oblong, sedang minum kopi. Ibunya meletakkan lauk ke atas meja makan.
“Begadang lagi ya sayang?” ibunya bertanya.
Winna mengangguk seadanya. “Ada yang harus Winna kerjain.”
“Tapi bukan berarti kamu nglupain tidur lho,” ayahnya menimpali sambil menatap wajah putri satu-satunya itu.
Winna diam, memilih tak menjawab. Menyendokkan makanannya pelan-pelan dan berusaha menikmati tiap suapannya.
^^^
Ini menjadi hari yang berat bagi Winna. Ia capek. Pelajaran hari ini sama sekali tak masuk ke otaknya. Tiba-tiba Winna jadi merindukan kasur dan bantalnya.
Rara menatap teman sebangkunya dengan khawatir. “Kamu nggak papa kan, Win?”
Winna mengangguk, “Iya. Makasih catatannya. Kamu pulang aja.”
“Bener nggak papa?”
“Bener,” Winna memaksakan diri tersenyum.
Rara akhirnya menurut dan beranjak pergi. “Hati-hati ya.”
Winna tersenyum membalas nasihat kawannya itu. Kemudian Winna mendesah pelan. Meruntuki nasibnya sendiri. Setelah ini masih ada rapat pengurus yearbook. Entah ia masih sanggup melewati rapat itu atau tidak. Winna memejamkan matanya. Tenggelam ke alam mimpi.
Fandi turun dari motornya, kemudian bergegas menuju kelas. Winna menunggunya di sana.
Sampainya di kelas, Fandi menemukan Winna tertidur di meja dengan beralaskan tangan. Wajah gadis itu terlihat lelah. Fandi tak berniat membangunkan Winna. Yang dilakukannya hanya duduk di sebelah Winna. Mengamati gadis itu tertidur. Senyuman samar tersungging di bibirnya.
Perlahan kameranya terangkat. Mengambil frame demi frame foto gadis itu. Cahaya matahari menyinari wajahnya. Cantik. Itulah yang dilihat Fandi dari balik kameranya. Membuat Fandi tak bisa berhenti memotret.
Zia keluar dari mushola sambil merenggangkan tangan. Kemudian meraba sakunya. Berlanjut membuka tasnya. Alis gadis itu berkerut. Ke mana hp-nya? Apa tertinggal di kelas? Zia kembali mengingat-ingat.
Zia menepuk dahinya sendiri. Dengan langkah panjang ia berjalan menuju kelas. Sepi. Kelasnya sangat sepi. Mungkin semuanya sudah pulang sejak tadi. Zia tersenyum sendiri dan melangkah masuk kelas. Tapi ia terkejut.
Di bangku pojok, ada Fandi yang sedang duduk memainkan kameranya. Di sebelahnya ada Winna. Gadis satu itu sedang tertidur, dengan Fandi menunggui di sebelahnya. Rambut panjangnya tergerai, sedikit menutupi wajahnya. Zia menelan ludah diam-diam.
“Aku mau ambil hp,” Zia menuju bangkunya di baris ke tiga.
“Ambil aja,” Fandi tersenyum.
Terburu-buru, Zia keluar segera setelah menemukan hp-nya. Langkahnya cepat dan lebar. Ia kaget dengan apa yang dilihatnya di dalam kelas tadi.
Sedang apa Fandi di situ? Bukankah sekarang ada rapat panitia? Kenapa mereka malah di dalam kelas?
Zia sama sekali tak mengerti. Ia cemburu. Itu pasti. Tapi tak baik jika kita cemburu pada seseorang yang belum tentu menyukai orang yang kita sukai. Pikirnya lagi.
Wajah gadis itu muram, semuram langit sore yang semakin menggelap. Mendung.
^^^
Winna terbangun saat merasakan getaran di meja yang menjadi alasnya tidur. Perlahan ia membuka matanya. Lalu kaget saat melihat Fandi di sebelahnya.
“Sori. Kamu jadi bangun.”
“Ngapain kamu di sini?”
Fandi menggeser duduknya. “Nungguin kamu tidur. Aku takut kelasnya bakal dikunci waktu kamu tidur.”
“Bukan itu,” Winna melihat jam dinding, “kenapa kamu nungguin aku? Bukannya harus rapat?”
Fandi beranjak bangun. “Males,” jawabnya pendek, “pulang?”
Winna menghembuskan nafas keras. Kemudian beranjak bangun, keluar kelas dan menuju kran yang ada di depan kelas. Menyalakannya dan mencuci muka. Fandi mengikutinya sambil membawa tas mereka berdua, menatap punggung Winna. Ada sedikit perasaan yang sulit di ungkapkannya.
Tiba-tiba Winna menoleh, mengagetkan Fandi.
“Ambilin tissue dong. Di dalem tasku.”
Fandi mengangkat alis. “Nggak papa nih aku buka tasmu?”
“Nggak ada barang penting, buka aja. Tapi jangan liat yang macem-macem.”
Fandi menurut. Membuka tas Winna dan menemukan sebungkus tissue travel pack, kemudian menyodorkannya kepada gadis di depannya. Winna menarik dua lembar tissue, yang digunakan untuk mengeringkan wajahnya. Fandi kembali memasukkan bungkusan tissue ke dalam tas Winna.
“Aku tidurnya lama ya, tadi?” Winna bertanya.
Fandi pura-pura berpikir. “Lumayan. Yang jelas kita udah ketinggalan rapat.”
Winna meringis pelan. “Maaf deh. Lagian kenapa kamu nggak berangkat rapat aja?”
“Dan ninggal kamu yang tidur dan mungkin aja kekunci di dalem kelas? Nggak mungkin kan?” Fandi tersenyum menatap Winna.
Winna tertegun sesaat. “Makasih ya...”
“Pulang?” Fandi mengulang pertanyaannya.
“Iyalah,” Winna menjawab sambil membuang tissue ke dalam tong sampah.
Fandi berbalik, menuju tempat parkir. “Aku anter.”
“Eh,” Winna terkejut sendiri. Belum sempat Winna mengeluarkan bantahan, Fandi membuka suara lagi.
“Aku bawa helm. Dan aku nggak mungkin biarin kamu pulang sendiri. Bisa-bisa kamu nyasar gara-gara ketiduran. Dan aku nggak nerima kata ‘nggak’.”
Winna menutup mulutnya. Memilih mengikuti langkah Fandi. Kedua mata gadis ini terus memandang punggung tegap di hadapannya. Perasaannya campur aduk. Kesal, namun juga tersanjung dengan perlakuan pemuda itu. Tanpa sadar ia tersenyum.
^^^
Lampu lalu lintas berubah merah. Fandi mengerem dan menghentikan motornya. Lalu lintas sore ini agak ramai, membuatnya memilih melajukan motor dengan kecepatan sedang. Fandi melirik ke arah spion, Winna sama sekali tak bersuara sejak tadi.
“Kamu nggak papa kan?” tanya Fandi khawatir.
“Nggak kok.”
Mendengar suara gadis itu sudah membuat Fandi sedikit lebih tenang. Samar-samar wangi parfum manis tercium olehnya.
Lampu berubah hijau. Fandi kembali melajukan motornya. Perlahan, ia merasakan tangan Winna menyentuh punggungnya. Ada perasaan lain di hatinya. Sekali lagi Fandi melirik spion. Mendapati gadis di belakangnya baik-baik saja, entah kenapa membuat hatinya jadi begitu lega.
Winna keluar dari kamar mandi. Rambut panjangnya masih basah dan tergerai di punggungnya. Winna berjalan menuju dapur, mengambil segelas susu dan membawanya ke dalam kamar.
Gadis ini menijit pelipisnya perlahan. Ia ingin tidur lebih cepat hari ini. Ia sudah lelah. Diletakkannya susu di atas meja belajar. Kemudian hp-nya bergetar pelan. Satu pesan baru. Dari Fandi.
Tidur!
Singkat memang. Tapi bagi Winna itu sudah menyiratkan sejuta perhatian. Ditulisnya pesan balasan. Lalu dibantingnya tubuh ke atas kasur. Perlahan dipejamkannya mata. Menyamankan tubuhnya yang lelah.
^^^
Fandi menatap hp-nya sejenak. Lalu mengambil gitar, memainkannya dengan nyaman. Bibirnya mengumamkan nada dan lirik lagu. Menghiasi malam yang semakin larut. Menemani jangkrik dan hewan malam yang bersenandung riang di alam yang kejam.
Hp-nya berbunyi. Fandi meraih hp-nya dan membukanya. Satu pesan baru. Winna.
^_^
Hanya simbol senyum memang. Tapi itu sudah lebih dari cukup. Fandi lega. Winna pasti akan baik-baik saja. Ia yakin akan hal itu. Fandi tersenyum lebar. Kemudian melanjutkan permainan gitarnya. Untuk menemani malamnya yang panjang.
6
Bagaikan bulan yang merindukan matahari aku merindunya.
Semangat jiwaku hilang karena gelapnya.
Ingin ku meraihnya sekali lagi.
Mendapat lagi apa yang kusebut cahaya.
Apa yang kusebut cinta.
Sanggupkah aku bertahan?
Bertahan menghalau semua pesona dan cahaya yang membutakanku.
Pesona yang membuatku semakin menjauh karena tak sanggup.
Kedua alis Fandi berkerut saat membaca puisi yang ditemukannya di antara kertas HVS yang dibawa Winna.
“Apaan nih, Win?” tanya Fandi sambil mengacungkan kertas berisi puisi itu.
“Apa?” Winna mendongak dari laptopnya menatap Fandi. Kemudian matanya beralih pada kertas yang diacungkan Fandi. Ia terpekik.
Tangan Winna dengan gesit merebut kertas puisinya. “Kok bisa dikamu sih?”
“Aku nemu di tumpukan kertas yang kamu bawa,” Fandi mengangkat bahu dengan cuek. Tidak peduli dengan Winna yang cemberut akibat perbuatannya barusan.
Winna diam sambil tetap memandang layar laptopnya. Fandi menatap wajah Winna dari samping sejenak.
“Puisimu bagus.”
“Apa?” Winna menoleh, mengira telinganya salah dengar.
Fandi mendesah kesal, mengulangi kata-katanya. “Puisimu bagus. Tapi kesannya kamu putus asa banget.”
“Makasih, tapi aku nggak putus asa” Winna tersenyum lagi.
Suara air hujan semakin jelas terdengar di luar. Sesekali suara ketikan ikut mendominasi. Sepi. Kelas ini begitu sunyi. Winna tidak berhasil menemukan topik pembicaraan yang cocok. Sementara Fandi sepertinya tak tertarik bicara.
Bosan, kemudian Winna mematikan laptopnya. Menutup dan memasukkannya kedalam tas. Tangannya menarik tissue dari tas dan digunakan untuk membersihkan minyak di wajahnya.
“Mau permen?” tawarnya pada Fandi.
Fandi melirik tangan Winna. Permen Alpenlibe. “Nggak. Makasih.”
Winna mengangkat bahu, “Ya udah.”
Fandi melirik jam dinding. 15 menit lagi ia ada janji dengan Ivan dan yang lainnya. Sepertinya sesekali tak datang bukanlah masalah. Toh, kali ini hanya mau mencetak foto tempo hari. Kalau hatinya disuruh memilih,sekarang ini dia lebih suka jika harus menemani gadis di sebelahnya ini.
Fandi tersentak sendiri. Heran dengan apa yang barusan dipikirkannya. Dilihatnya Winna sibuk ber-sms. Kemudian gadis itu bangun.
“Aku dijemput. Duluan ya? Kita terusin kapan-kapan.”
Fandi mengangguk, berdiri dan memakai tasnya. Berniat ikut pulang. Winna berjalan lebih dulu ke arah pintu. Kemudian gadis itu berbalik dan tersenyum.
“Kapan-kapan aku mau lihat foto karyamu...”
Kemudian dengan cepat Winna pergi. Sekali lagi meninggalkan Fandi yang bingung. Tanpa disadarinya, Fandi tersenyum. Ada rasa nyaman menyeruak dihatinya.
^^^
“Berarti kita ambil tema prom night buat pemotretan yearbook.”
“Nggak nggak. Anak-anak cowok kan nggak setuju,” Fandi membantah pendapat Winna yang sekenanya.
Winna kesal. “Tadi kan kita udah voting. Yang paling banyak dipilih itu prom.”
Fandi mencondongkan tubuhnya, mendekat ke Winna. “Anak cewek itu lebih banyak daripada cowok. Jadi udah pasti kalian bakal menang.”
Meta menyaksikan Winna dan Fandi yang berdebat di depan pintu kelas sambil mendecakkan lidah. “Kok malah berantem sih.”
“Ada yang bilang berantem itu tanda akrab,” Anita menimpali.
Priska menopang dagunya. “Aku setuju. Kalau dilihat dari cara mereka berantem kayaknya udah deket. Semoga aja yearbook kita bisa selesai dengan lancar.”
Zia menggigit bibir. Matanya belum bisa lepas dari Fandi dan Winna. Soal mereka berdua akrab sepertinya memang benar. Ia sudah beberapa kali menjadi saksi mata.
Saat Winna tertidur dan Fandi menunggui di sebelahnya. Yang akhirnya Fandi mengantar Winna pulang. Beberapa kali mereka tinggal di kelas berdua setelah pelajaran usai untuk membahas hal yang tidak ia tahu. Dan hal-hal sepele lainnya.
Hati Zia gelisah. Haruskah ia merasakan semua ini? Pantaskah ia?
Zia kembali memandang Winna dan Fandi. Kali ini pertengkaran mereka sudah agak mereda.
Fandi mengangkat tanggannya, menyerah. “Oke. Kita ambil tema prom. Jadi ga usah cemberut kayak gitu lagi.”
Senyum di wajah Winna kembali lagi. “Makasih! Kamu emang yang paling baik!”
Kemudian Winna berlari ke dalam kelas, menghampiri Meta dan bicara soal keputusan tema pemotretan.
Zia kembali memandang Fandi. Pemuda itu sedang melihat ke arah lain. Matanya terlihat lebih lembut daripada biasanya. Zia merasakan hatinya runtuh saat menelusuri untuk siapa pendangan itu diberikan.
Ia sudah tak sanggup lagi bertahan.
^^^
Bulan Januari sudah mulai memasuki akhir. Intensitas hujan sudah berkurang. Berganti dengan panas matahari yang seakan tak pernah ada habisnya.
Ujian akhir kurang satu setengah bulan lagi. Jadwal tambahan pelajaran mulai menggila. Membuat semua murid malas belajar dan kehilangan waktu bermain dan santai. Seringkali mereka membolos pelajaran tambahan yang menurut mereka membosankan, dan pergi melepas penat dengan bermain.
Winna duduk di bangku terdepan bersama Meta dan yang lainnya. Menghadapi soal-soal tambahan matematika yang belum sempat terselesaikan tempo hari.
Winna menguncir rambutnya, tangan kanan memengang pulpen dan tangan kirinya memegang kipas untuk mendinginkan tubuh.
“Kipasnya geser dong, Win! Panas nih...” Priska menarik tangan kiri Winna, mendekatkan kipas ke arahnya.
“Aku nyerah,” Winna membanting pulpennya ke atas meja dengan suara keras. Kemudian bangun dari tempat duduknya. Melirik jam dinding. Jam lima sore. “Aku mau pulang.”
^^^
Fandi duduk di pinggir lapangan bola sekolah. Kelelahan. Sementara teman-temannya yang lain masih asyik bermain bola.langit sudah mulai berubah orange, tapi udara masih terasa panas.
Diputarnya pandangan. Di samping podium sekolah ia melihat Widhi, anak IPA 5 atau 4 kalau ia tak salah ingat, sedang bicara dengan seorang gadis berkerudung. Pacarnya mungkin. Fandi sudah beberapa kali melihat Widhi bersama gadis itu.
Tak lama kemudian, Fandi melihat Winna keluar dari podium sambil mengusap wajahnya. Langkah gadis itu terhenti saat mendapati dua orang yang lain di sana. Wajahnya berubah. Dan Winna cepat-cepat membalikkan badan, bergegas pergi.
Fandi tersadar. Dengan cepat disambarnya jaket dan tasnya. Menuju ke motornya.
“Woi... aku duluan ya!” pamitnya pada teman-temannya yang lain.
Seklias Fandi melirik ke arah Widhi. Pemuda itu sepertinya menyadari kepergian Winna barusan. Mata Widhi memandang ke arah Winna pergi. Dan itu membuat kesabaran Fandi habis. Ia segera menyalakan motor dan menyusul Winna.