Story - Part 6
Di goreskan oleh Yunna , Sabtu, 05 Februari 2011 11.00
11
Lounge restoran fast food di salah satu pusat perbelanjaan itu tampak ramai. Sebagian besar pengunjungnya adalah rombongan keluarga dan pasangan muda yang ingin menikmati makan malam yang cepat. Winna duduk di meja yang terletak di sudut lounge. Menunggu Ivan yang sedang memesankan makanan. Sesekali ia melihat sekitarnya.
Tadi, Ivan mengajaknya untyuk makan dulu sebelum mulai bercerita. Winna hanya menurut, karena ia juga tak bisa langsung memaksa Ivan untuk bercerita tentang semuanya.
Tak begitu lama, Ivan datang dengan membawa nampan berisi pesanan mereka. Winna tersenyum menyambutnya. Dua buah burger dan soup creme, tak lupa soft drink. Winna menggigit burgernya dengan perlahan. Tidak berniat membuka percakapan.
Ivan memandang ke arah Winna dengan pikiran yang berkecamuk. Mungkin, alasan Winna ingin tahu lebih banyak tentang Tika ada hubungannya dengan sikap senewen Fandi hari ini.
Semoga saja.
“Akhirnya ujian nasional selesai ya?” Ivan membuka pembicaraan.
Winna mengangguk. “Aku lega. Abis ini tinggal ujian sekolah sama ujian praktek aja.”
Selanjutnya makan malam mereka di selingi dengan pembicaraan-pembicaraan ringan dan candaan yang membuat Winna senjenak lupa dengan masalahnya.
^^^
Sebelum pulang ke rumah, Fandi mengikuti Bena ke sebuah pusat perbelanjaan di mana kios peralatan fotografi langganan Bena berada. Tempat itu sangat ramai petang ini. Membuat Fandi dan Bena mau tak mau membatalkan niat untuk makan di restoran fast food di sana.
Saat turun dengan eskalator, matanya melihat Ivan sedang makan di dalam restoran itu. Bersama Winna. Keduanya tertawa dan mengobrol dengan akrab.
Dan entah kenapa hal itu membuat Fandi tidak merasa nyaman sedikitpun.
^^^
Sepasang pemuda pemudi berseragam sekolah berjalan di tengah keramaian pusat perbelanjaaan.
Winna memakan es krim coklatnya sambil melihat-lihat toko di sekitarnya. Ivan di sebelahnya sambil memakan es krim strawberry. Sesekali Winna menunjuk barang-barang yang menurutnya lucu dan minta pendapat dari pemuda di sebelahnya.
“Habis ini mau ke mana?” Winna bertanya.
“Nggak kapok jalan sama aku?” Ivan balik bertanya.
Winna tertawa. “Kalau kapok, aku udah pulang dari tadi.”
Ivan tersenyum dan berpikir. Mungkin sudah saatnya.
“Kita ke alun-alun aja. Aku ceritain semua yang aku tahu.”
^^^
Alun-alun kota di malam minggu memang selalu ramai. Winna duduk di depan tiang bendera. Melamun. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai dan terbang terbawa angin. Dirapatkannya cardigan yang dipakainya untuk menghalau udara dingin.
Ivan kembali dan duduk di sampingnya. Menyodorkan jagung bakar. Winna menerimanya dengan senyuman dan menyamankan diri. Bersiap mendengar cerita yang ingin dia tahu.
“Kamu pasti juga kenal Tika kan?”
Winna mengangguk. “Tempo hari aku sama Fandi ketemu Tika.”
“Pantes,” sambung Ivan, “Fandi jadi agak senewen tadi.”
“Dulu aku kenal kalian cuma sekedar kenal aja. Nggak tahu apa-apa soal siapa dekat dengan siapa atau semacamnya,” ujar Winna.
“Fandi sama Tika emang sempet deket,” Ivan memulai ceritanya, “deket banget malah. Aku nggak tahu mereka itu pacaran apa nggak. Tapi bagiku udah keliatan kayak gitu.
Kamu tahu, Win? Fandi itu nggak pernah ngambil gambar obyek manusia. Dan Tika adalah orang pertama yang Fandi jadiin model. Awalnya gimana mereka bisa deket aku nggak tahu. Tahu-tahu suatu hari Fandi nunjukin foto Tika ke aku. Jujur aku juga kaget Win, waktu itu.
Aku nggak pernah nyangka kalau Fandi mau ngambil foto dengan obyek manusia, kecuali kalau dia punya ketertarikan secara pribadi sama model itu. Dan setelah itu aku jadi tau kalau Fandi jatuh cinta sama Tika,” Ivan berhenti sejenak.
“Aku tahu. Udah aku duga,” Winna menghela nafas.
“Pernah satu waktu Fandi cerita. Ternyata alasan kenapa dia mau ambil foto Tika karena Tika udah membuka hatinya. Membesarkan hatinya waktu Fandi kehilangan. Tika yang selalu ngasih banyak nasihat sampai akhirnya Fandi mau membuka hatinya lagi,” Ivan melanjutkan ceritanya.
“Kehilangan?” tanya Winna.
“Ayahnya meninggal waktu Fandi lagi mulai serius belajar fotografi,” jelas Ivan.
“Ah,” Winna teringat. Waktu kelas 8 SMP, ia memang sempat mendengar tentang berita itu. Hanya saja karena tak dekat ia mungkin melupakannya.
“Dan waktu itu Fandi sempet putus asa. Dia nggak mau lagi megang kamera dan tau soal dunia fotografi. Dan mungkin kamu udah bisa nebak. Tika adalah orang yang membuat Fandi mau menyentuh kamera lagi. Memotret lagi.
Sejak itu mereka jadi benar-benar deket. Aku sampai nggak bisa berkomentar apa-apa waktu itu,” kenang Ivan.
Winna terdiam. Sepenting itukah arti kehadiran Tika bagi Fandi? Batinnya.
“Aku nggak tahu soal gimana mereka bisa pisah. Aku nggak bohong. Abis kelulusan SMP Tika sempet kecelakaan dan setelah itu mereka nggak pernah berhunbungan lagi,” Ivan menggelengkan kepala, “kalau kamu pengen tahu soal itu kamu bisa tanya langsung sama Tika atau Fandi.”
Winna menjilat bibirnya. Tak tahu harus mengatakan apa.
“Makasih banyak, Van,” ucap Winna, “makasih karena udah mau cerita soal ini. Dan tolong jangan bilang apapun sama Fandi dan yang lainnya.”
Ivan mengangguk. Berjanji.
^^^
Fandi membuka seragamnya. Melemparnya dengan sembarangan, kemudian membanting tubuh ke atas tempat tidur. Memejamkan matanya. Ia lelah hari ini. Secara fisik maupun mental.
Di mulai dengan kehadiran Winna, yang secara perlahan-lahan mulai merangsek masuk ke dalam hatinya yang sudah ia tutup sejak Tika meninggalkannya. Mungkin hal ini akan mudah kalau ia tidak beremu Tika lagi. Tetapi kenyataan berkata lain.
Tika kembali.
Hpnya berbunyi pelan. Nomor tidak dikenal. Langsung diangkatnya.
“Hallo.”
“Ini aku Fan,”
Fandi terbangun. Itu suara Tika.
12
Tika mengajaknya bertemu di sebuah cafe yang merangkap toko kue di seberang alun-alun. Fandi melangkah masuk ke dalam cafe dengan agak cemas. Perasaannya campur aduk tak karuan.
Dilihatnya Tika duduk di bangku yang terletak di pinggir jendela. Gadis itu tersenyum menyapanya. Fandi membalas dengan senyum singkat dan duduk di depan gadis itu.
“Apa kabar Fan?”
“Baik. Aku selalu baik.”
“Yang bener? Termasuk saat aku pergi dulu?”
Fandi tak mau menjawab pertanyaan retoris Tika barusan. “Kenapa tiba-tiba kamu nyuruh aku dateng ke sini?”
“Kamu nggak suka ketemu aku?” tanya Tika balik, “waktu tempo hari kita ketemu, kita nggak sempet ngobrol banyak.”
“Udah nggak ada lagi yang bisa kita omongin.”
Tika menatapnya lagi. “Bagiku masih ada.”
Kedua orang itu terdiam. Fandi tak ingin bicara lagi. Sementara Tika mencari bahan pembicaraan. Sejujurnya Tika hanya ingin bertemu lagi dengan Fandi setelah dua tahun lebih mereka tak pernah bertemu lagi.
Nyaris tak ada yang berubah dari penampilan fisik Fandi. Tetap menarik seperti saat dulu ia bertemu dengannya.
“Kayaknya kamu belakangan lagi deket sama Winna ya?”
Fandi menyipitkan mata. “Darimana kamu denger kabar kayak gitu?” tanyanya agak sinis.
“Seseorang,” jawab Tika, “aku cuma mau tahu kebenarannya dari mulutmu sendiri.”
“Kayak yang waktu itu aku bilang. Kita cuma partner kerja. Nggak lebih. Dan kamu jangan nyebar kabar yang nggak benar.”
Tika mencondongkan tubuh ke arah Fandi sebelum mengajukan pertanyaan berikutnya. “Kamu nggak punya perasaan apa pun sama dia?”
Fandi tertegun sejenak, agak ragu untuk menjawab. Kemudian mengangkat kepala dan menjawab dengan suara agak lirih. “Nggak. Dia cuma teman sekelasku. Dan partner kerja di yearbook.”
^^^
Zia mencibir melihat tingkah laku adiknya yang menyebalkan. Ada-ada saja maunya. Dan kenapa sekarang ia harus menjaga mahluk menyebalkan itu sendirian. Kemana perginya orang tuanya?
“Jalannya yang cepet mbak, toko kuenya itu.”
Zia menhentakkan kakinya dengan kesal dan mempercepat langkahnya. Mengikuti adiknya yang sudah masuk dengan riang ke dalam toko.
Seorang pelayan menyodorkan daftar menu kue saat Zia sampai di depan konter. Disikutnya adiknya yang ribut meminta kue keju. Dengan cepat dipesannya beberapa jenis kue.
“Tunggu sebentar,” pinta si pelayan. Zia mengangguk dan memandang sekitarnya.
Terkejut, Zia langsung membalikkan badan. Sesekali matanya melirik ke arah meja di dekat jendela. Fandi sedang duduk bersama seorang gadis cantik. Gadis itu berambut sebahu dengan wajah mungil yang cantik.
Siapa itu? Batin Zia.
Apa Winna tahu soal ini?
Zia terlonjak kaget saat pelayan itu menyodorkan kotak kue. Secepat kilat diambilnya dan langsung menyeret tangan adiknya keluar dari toko itu. Ia ingin secepatnya pergi.
^^^
Zia sedikit tidak tenang karena kejadian yang dilihatnya kemarin. Fandi tidak masuk sekolah hari ini. Sedangkan Winna sedang mambahas rancangan desain bersama Meta di meja depan. Di kelas hanya tinggal beberap orang saja. Sebagian sudah pulang atau kabur ke tempat lain.
Di saat-saat hari kosong seperti ini malah membuat Zia kebingungan karena tak tahu harus berbuat apa. Ia ingin bicara pada Winna tentang apa yang dilihatnya kemarin, tapi belum ditemukannya waktu yang tepat.
Kemudian dilihatnya Meta pergi. Zia buru-buru bangun dan duduk di samping Winna.
“Win,” panggilnya.
Winna menoleh. “Kenapa Zi?”
“Aku tahu belakangan hubungan kita lagi nggak begitu baik. Tapi ada hal yang mau aku ceritain.”
Winna meletakkan pulpennya, menggigit bibir. “Tentang apa?”
Zia menarik nafas terlebih dulu. “Fandi,” ucapnya dengan nada pelan.
Winna terdiam. “Apa yang harus dibicarain sama aku?”
Zia menegakkan badan. “Kemarin, waktu aku sama adikku beli kue di daerah alun-alun aku liat Fandi.”
“Terus?” Winna mengendikkan bahu.
“Dia lagi duduk sama cewek. Cantik banget.”
Winna terdiam. “Rambutny sebahu?”
Zia bingung. “I-iya. Kok kamu tahu?”
Sudah cukup. Winna tak bisa bertahan lagi. Kali ini dia kalah. Dari dalam hatinya ia mengakui. Ia telah jatuh cinta. Tak pernah disangka, tak pernah direncanakannya. Di sambarnya tas dan Winna bergegas pulang. Tak diindahkannya panggilan Rara yang bertanya ia mau kemana.
^^^
Fandi sengaja berangkat siang hari ini. Jam sudah menunjukkan jam 11.30 siang. Mungkin sebagian teman-temannya sudah pulang. Di parkirnya motor dan bergegas menuju kelas.
Kelasnya sudah agak sepi. Winna tak terlihat di manapun.
“Kalau kamu cari Winna, dia udah pulang dari tadi,” Rara menyahut.
“Oh,” Fandi langsung menuju tempat duduk yang kosong di samping Ardi. Menghempaskan tubuh di sana. Meta menghampirinya.
“Winna tadi sempet titip ini buat kamu. Katanya sisanya kamu yang selesein.”
Fandi membolak balik kertas yang diberika Meta. Rancangan desain yearbook yang baru separuhnya dan digambar agak asal-asalan. Khas Winna. Tanpa disadarinya, Fandi tersenyum.
Tak lama setelah itu, Cendana, ketua redaksi majalah sekolah masuk. Memberikan majalah yang baru terbit minggu ini.
“Temanya minggu ini cinta,” ucap Cendana sambil memberikan majalah kepada Ardi.
Fandi membuka halaman demi halaman majalah. Tak ada artikel yang menarik perhatiannya. Ia membuka halaman puisi. Di bacanya puisi yang ada di sana.
Apa yang membuatmu memahami cinta?
Apa yang membuatmu yakin bahwa ia mengikutimu?
Apa yang membuatmu tahu bahwa itu cinta?
Manusia tak pernah menghargai cinta.
Kau diberi, malah kau buang.
Saat itu sudah hilang, kau akan mencarinya.
Saat ini aku memulai lagi pencarian atasnya.
Mencoba menelusuri jalan baru untuk menggapainya.
Karena aku ingin menemukan yang baru.
Menemukan yang cinta yang sebelumnya tak pernah aku tahu.
Mencoba merasakan sebelum aku hilang.
Fandi tertegun membaca puisi itu. Ada sesuatu di dalam puisi itu yang membuatnya tak bisa melepaskan mata dari puisi itu.
“Woi,” tegur Ardi, “baca apaan sih?”
Fandi menunjuk puisi yang dibacanya.
Ardi ikut-ikitan membuka halaman yang di maksud. Kemudian berujar, “ini puisinya Winna. Keren ya?”
Fandi menatap halaman majalah itu lebih seksama lagi. Itu memang karya Winna. Puisi itu membuatnya berpikir, apa yang sedang dirasakan gadis itu saat menulis puisi ini?
bersambung...
bersambung...
Kamu suka bikin cerita ya? Baguuuus :)))