Story - Part 8
Di goreskan oleh Yunna , Senin, 07 Februari 2011 11.00
15
Winna menunggu Fandi sambil membaca contoh naskah pidato yang diberikan Rara kepadanya. Di minumnya jus melon yang dipesannya di kantin.
“Emang harus sepanjang ini ya Ra?”
Rara mengangkat bahu. “Kalau bleh singkat sih, aku milih yang singkat aja. Ngapain susah-susah mikir buat pidato panjang.”
Winna tertawa kecil. “Kamu bener.”
Selagi dua gadis itu mengobrol, Fandi muncul dengan keringatdi dahinya.
“Yuk.”
Winna mengerutkan alis. “Dari mana sih? Kok keringetan?”
“Bengkel.” Kemudian Fandi berlalu.
Winna buru-buru bangun dan melambaikan tangan pada Rara. “Dah!”
“Yang bener lho liat lokasinya!”
Winna cuma tersenyum lebar.
^^^
Untuk tema prom di pemotretan, jauh-jauh hari Winna dan Fandi sudah sepakat untuk mengambil setting lokasi pesta kebun. Winna dan Fandi meminjam setting sebuah resto keluarga mina wisata milik salah satu saudara Winna.
Fandi mengelilingi bagian belakang resto sambil terkagum-kagum.
“Tempatnya bagus kan? Cocok sama tema pesta kebun,” celetuk Winna.
Fandi mengangguk. “Untuk foto profil, kita bisa ambil di mana aja.”
Seorang pria paruh baya bertubh subur datang menghampiri. “Gimana? Bagus kan lokasinya?”
Winna mengangguk. “Makasih banyak ya, Pakde udah mau bantuin.”
Pria yang di panggil pakde itu tertawa. “Udah seharusnya bantuin keponakanku yang lagi bingung.”
Winna tertawa menanggapi ucapan Pakdenya itu. Kemudian seorang pelayan datang membawakan dua gelas minuman.
“Kalian minum aja dulu. Ini gratis. Pasti kalian capek datang ke sini.”
Setelah Pakdenya pergi, Fandi mendekati Winna. Winna memilih duduk di bangku terdekat. Mencoba menikmati suasana.
“Di sini dingin,” celetuk Fandi.
“Kan, aku udah bilang sama kamu biar bawa jaket,” ujar Winna.
Kemudian keduanya terdiam lagi. Sejak pembicaraan di dalam taksi itu memang suasana antara Fandi dan Winna menjadi sangat canggung.
Winna sebenarnya ingin menanyakan apakah Tika sudah bicara atau belum. Tapi mulutny terkunci. Ia tidak sanggup untuk membicaran tema pembicaraan yang mungkin agak sensitif itu.
Sementara Fandi, sebenarnya ia igin menanyakan pada Winna. Kenapa gadis itu meminta Tika untuk bicara dengannya. Fandi ingin tahu alasan kenapa gais itu melakukan hal semacam itu. Merasa kecanggungan ini tidakakan ada akhirnya, Fandi memilih membuka suara.
“Win,” panggilnya.
“Hm?”
Fandi menyiapkan mentaknya dulu sebelum bicara. “Kemarin aku sama Tika ketemu lagi.”
“Terus? Apa hubungannya sama aku?” tanya Winna balik.
Fandi menyandarkan tubuh ke kursi. “Kemarin kita bicara baik-baik. Mengenang masa lalu, banyak membicarakan hal yang dulu menyenangkan. Tapi bukan itu tujuan utamanya.
Pada akhirnya kita memutuskan untuk mengakhiri apa yang dulu belum sempet kita akhiri secara baik-baik. Kita berdua sepakat buat menutup semua lembaran yang pernah kita buka. Aku maupun Tika juga nggak mau selamanya terkungkung sama masa lalu.
Kita sama-sama mau mengambil sesuatu yang baru untuk hidup kita. Tika sudah menemukan itu di sosok pacarnya yang sekarang. Kalau aku,” Fandi sengaja memutus ucapannya.
“Kalau kamu apa?” tanya Winna.
Fandi menggeleng. “Nggak apa- apa. Aku pasti juga akan menemukan lembaran baru itu. Buku yang nantinya juga akan aku isi dengan semua cerita yang baru. Cerita yang berbeda.”
“Aku juga,” timpal Winna, “mungkin sekarang aku belum tahu harus apa dengan buku yang baru ini. Tapi aku yakin. Aku pasti juga akan mengisi semua lembaran buku itu dengan cerita yang baru. Cerita yang akan selalu membuat aku bsia tersenyum saat mengingatnya.”
Fandi terdiam. Kemudian tersenyum.
“Aku pengen bilang makasih. Terima kasih buat semua yang udah kamu lakuin buat aku.”
Winna menatap Fandi dengan bingung. “Memangnya aku ngelakuin apa?”
Sekali lagi Fandi tersenyum. “Banyak. Mungkin kamu nggak sadar. Tapi, kamu banyak membawa hal baru buat aku. Pelan-pelan masuk ke dalam diriku. Membuka sisi lain dari diriku yang selama ini nggak pernah aku sadari.
Membawa banyak senyuman dan arti baru buat aku. Makasih banyak,” ucap Fandi tulus.
Winna terpana. Tak tahu harus mengatakan apa.
“Fan,”
Fandi menoleh.
“Harusnya aku yang bilang kayak gitu. Di balik sikap cuekmu yang kadang-kadang bikin aku hilang kesabaran, kamu udah bantu aku buat nglewatin semua saat-saat terberat aku.
Saat dimana aku lagi berusaha menutup yang udah lalu. Waktu itu rasanya sakit. Berat banget. Tapi kamu datang. Membawa pergi semua beban yang udah memberatkan tangan dan hatiku buat menutup lembaran itu.
Terima kasih. Dari hati yang terdalam, aku bilang makasih,” ucap Winna tulus.
Kemudian keduanya tersenyum. Mungkin semua hal akan menjadi jauh lebih jelas sekarang.
16
Siswa-siswa di kelas Winna sedang ribut. Ini hari sabtu, dan ujian praktek tari baru saja berlalu. Besok akan ada pemotretan untuk yearbook.
Winna mengetuk-ngetukkan penghapus ke whiteboard. Meminta perhatian teman-temannya. Karena setelah ini ia akan menjelaskan lokasi untuk foto besok. Winna mengalihkan perhatian pada Fandi.
Yang diperhatikan sedang sibuk dengan kameranya. Memotret suasana kelas yang mungkin sebentar lagi tidak akan mereka rasakan. Beberapa anak langsung berpose narsis ketika sadar Fandi mengarahkan kamera ada mereka.
Entah beberapa lama lagi suasana seperti ini. Mungkin tak akan lama lagi...
^^^
Saat aku tersadar.
Aku sudah membukanya.
Membuka semua lembaran baru yang bersih.
Aku ingin menorehkan begitu banyak cerita.
Tentang aku, kau dan semua.
Cerita yang akan ku ingat dan ku kenang.
Akankah cerita ini tertaman abadi?
Aku tak tahu.
Aku hanya ingin mengenangnya.
Mengenang untuk diriku sendiri.
Agar aku takkan menyesal.
Menyesal saat aku buka lagi lembar yang baru.
^^^
Cuaca siang itu begitu bersahabat. Matahari bersinar, sesekali bersembunyi di balik awan putih yang menggumpal bebas di angkasa.
Kelas Winna sedang menjalankan pemotretan untuk yearbook. Tawa dan canda terlontar. Menyemarakkan suasana siang yang bersahabat. Saat ini jam makan siang. Semua anak sedang makan siang sambil berceloteh dengan ribut.
Zia sesekali melirik ke arah Winna. Gadis ini ingin bicara dengan Winna. Merasa bersalah karena pernah cemburu yang agak berlebihan kepada sahabatnya itu. Setelah mengumpulkan keberanian, Zia berjalan mendekati Winna.
“Win, aku pengen bicara.”
Winna menoleh, tersenyum. Keduanya berjalan di bagian belakang restoran.
“Aku mau minta maaf soal kemarin-kemarin. Rasanya aku ini bego banget Win.”
“Kenapa emangnya?”
“Beberapa bulan ini rasanya aku jadi orang yang paling bodoh,” ujar Zia, “aku cemburu sama kamu tanpa sebab yang jelas. Dan semuanya Cuma karena aku suka sama Fandi.”
Winna terdiam sebentar. “Nggak apa-apa. Itu wajar kok, Zi. Kalau aku di posisimu mungkin aku juga akan nglakuin hal yang sama.”
“Tapi,” potong Zia, “aku sampai-sampai menjauh dari kamu. Aku seolag malah menghindar dari kamu. Dan hal itu yang bikin aku makin ngerasa bersalah.”
“Kita ini temen kan, Zi?”
Zia mengangguk.
“Kalau gitu, gimana kalau kita mulai lagi semuanya dari awal. Kita berteman lagi kayak dulu. Sebelum kita jadi saling mejauhi gara-gara maalah Fandi. Ok?”
Zia tersenyum lebar. Kemudian dua sahabat yang sempat terisah itu berpelukan. Merayakan reuni mereka. Memang tidak seharusnya sebuah hubungan persahabatan hilang hanya karena rasa cemburu sementara.
Persahabatan seharusnya akan jadi jauh lebih abadi dari hubungan apapun. Tanpa terkontaminasi oleh hal lainnya.
^^^
Sore hari, semua sesi foto selesai. Para murid berganti pakaian dan bersiap pulang. Sebelum pulang, Winna berencana menemui Pakdenya terlebih dahulu. Gadis ini berpamitan dan melepas kepergian teman-temannya.
Winna melangkahkan kaki menuju ke ruang manajer. Melongokkan kepala ke dalam.
“Pakde,” panggilnya.
Pakdenya menoleh dari balik komputer dan tertawa lebar. “Masuk, Winna. Ada apa?”
Winna masuk dan duduk di depan Pakdenya itu.
“Foto-fotonya udah selesai. Makasih banyak karena udah di pinjemin tempat.”
Pakdenya itu tertawa. “Sama-sama. Mau makan malam dulu?”
Winna menggeleng. “Nggak usah. Aku mau langsung pulang aja. Capek. Tapi kalau lain kali mau di traktir juga boleh,” ujar Winna sambil tertawa.
Winna melangkahkan kaki keluar ruangan kantor. Sambil berjalan keluar, sesekali gadis ini menyapa para pelayan yang ia kenal.
“Kayaknya kamu kenal banyak orang ya, di sini?”
Winna menoleh. “Fandi? Kamu belum pulang?”
Yang ditanyai cuma bersandar di tembok luar restoran. “Karena kamu belum pulang, aku juga belum.”
Winna tersenyum. “Kamu nunggu aku?”
Fandi tidak menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya itu. Alihalih menjawab, Fandi berjalan menuju motornya dan mengambil helm. Menyodorkannya pada Winna.
“Kamu mau pulang nggak?”
Sambil tertawa Winna menerima helm dari tangan Fandi dan memakainya.
^^^
Zia dan Rara berjalan menuju pintu keluar restoran. Rara menghabisakan terlalu banyak waktu di kamara mandi. Membuat mereka tertinggal teman-teman yang lain. Begitu sampai di pintu keluar, reflek Zia menarik rara mundur. Mengajaknya bersembunyi.
“Zia, kenapa sih?”
Zia meletakkan satu telunjuk di bibir. “Liat tuh,” ujarnya.
Rara mengikuti arah pandangan Zia. Dilihatnya Winna dan Fandi di sana. Sedang bicara sambil bersiap-siap pulang. Mulut Rara sedikit terbuka. Tidak menyangka kalu teman sebangkunya itu kelihatan sangat akrab dengan Fandi.
“Kamu nggak apa-apa Zi?” tanya Rara.
Zia tidak menjawab. Sebagai ganti jawaban, Rara melihat Zia tersenyum. Dengan begitu tulus. Melihat senyuman Zia, tanpa sadar Rara juga ikut tersenyum. Masa depan pasti akan terlihat lebih baik.
bersambung...