Story - Part 7
Di goreskan oleh Yunna , Minggu, 06 Februari 2011 11.00
13
Winna membuka pintu kamarnya. Kemudian melepas tas dan berbaring di kasur. Ia ingin mencari tahu lebih banyak lagi. Winna menggigit bibir. Haruskan ia bertanya pada Tika? Tapi, sebaiknya sebelum Tika, ia harus mencari tahu dari Fandi terlebih dahulu.
Ditariknya nafas panjang. Kenapa ia harus memikirkan hal seperti ini? Ini sama sekali bukan urusannya. Ia tidak berhak ikut campur.
Winna bangun dan mengganti bajunya. Rambutnya di gulung dan diikatnya dengan agak asal-asalan. Ditariknya kertas dan mulai menulis.
Aku tertarik ke dalam sebuah pusaran yang tak bisa ku jelaskan.
Ada rasa ingin pergi.
Tapi aku terikat oleh arusnya.
Aku tak bisa lari.
Pada akhirnya aku terjerumus.
Aku terbawa dan bercampur dengannya.
Bercampur jauh ke dalam kehidupan yang tak bisa kujelaskan maknanya.
Bisakah aku berkelit?
Bisakah aku keluar?
Belum selesai menulis, hp-nya bergetar. Ada telepon masuk. Dilihatnya. Fandi. Dengan ragu-ragu diangkatnya.
“Kenapa kabur?” suara Fandi langsung menerjang telinganya bahkan sebelum Winna mengatakan ‘hallo’.
“Apa pedulimu?”
Didengarnya Fandi mendesah di ujung telepon. “Ada yang mau aku tanyain. Sekarang kamu ke alun-alun bisa? Kita ketemu di sana.”
Kemudian telepon ditutup. Winna memandang hp-nya dengan kesal. Mendecak kemudian bersiap pergi.
^^^
Fandi duduk di atas motornya sambil membaca ulang puisi di majalah sekolah. Apa yang sebenarnya sedang dipikirkan Winna saat membuat puisi ini? Apa ada hubungannya dengan Ivan? Seperti yang dilihatnya tempo hari.
Fandi mengacak rambunya dengan bingung. Apa sih yang sedang di pikirkannya?
Tidak lama kemudian Ia melihat sebuah taksi berhenti di seberang jalan. Dilihatnya Winna keluar dari dalam taksi. Kemudian gadis itu memandangnya dengan tatapan kesal yang sama sekali tak disembunyikan.
Fandi menelan ludah saat melihat Winna menatapnya seperti itu. Dengan langkah cepat Winna menyeberangi jalan.
“Kenapa?” tanyanya ketus.
Fandi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian melambaikan kertas coretan desain. “Aku nggak ngerti. Bagian mana yang harus aku selesein.”
Winna memandang sekitarnya. “Kita diskusi di tempat lain aja. Jangan di sini, panas.”
Winna berjalan menyeberangi alun-alun, menuju sebuah restoran fast food. Fandi turun dari motornya mengikuti Winna yang sepertinya tidak begitu bagus suasana hatinya. Lebih baik jangan membuat gara-gara, batinnya.
Winna memesan es krim cokelat dengan porsi besar dan memakannya dengan gemas. “Apa yang nggak kamu ngerti?”
Fandi menunjuk rancangan yang dibuat Winna. “Apa yang harus aku lakuin sama desain ini? Kayanya udah nggak ada lagi yang perlu aku selesein.”
“Kalau menurut kamu udah nggak ada lagi yang perlu diselesein ya udah,” Winna mengangkat bahu.
Fandi mengeluarkan majalah yang tadi dibawanya, kemudian disodorkannya pada Winna. “Aku suka puisimu.”
Winna mengangkat wajah. “Bener?”
“Seolah aku bisa ikut ngerasain apa yang kamu tulis.”
Winna mengambil sesendok besar es krim dan menyuapkannya ke mulut. Fandi menatapnya dari sudut matanya.
“Kayaknya moodmu lagi jelek,” komentar Fandi.
Winna menjawab tanpa menatap Fandi. “Emang.”
“Gara-gara apa?”
Winna kesal ditanya terus. Jawaban yang keluar dari mulutnya tanpa sempat disaring otak terlebih dahulu. “Kamu.”
“Aku?” ujar Fandi sambil menunjuk dirinya sendiri, “aku ngapain emangnya?”
Winna tersadar, ia salah bicara. “Lupain aja.”
Fandi menggelengkan kepala. “Mana bisa lupain gitu aja? Barusan kamu bilang kamu bete gara-gara aku. Aku emangnya kenapa?”
“Lupain.”
“Gak bisa dong. Kenapa?”
“Lupain!”
“Winna! Please, bilang.”
“Kamu bener-bener mau tahu?” Winna meletakkan sendok es krimnya dengan kesal.
Fandi mengangguk. Menunggu jawaban Winna.
“Puisi dimajalah sekolah itu aku tulis karena kamu. Karena kamu dan Tika. Karena aku nggak tahu apa yang harus aku lakuin. Puas?” Winna langsung beranjak bangun, pergi.
Sementara Fandi tertegun. Perasaan Winna jadi tak enak karena dia dan Tika. Apa jangan-jangan...
“Winna! Tunggu bentar Win!”
Winna menghentikan taksi di pinggir jalan. Sebelum masuk ia berbalik, menatap Fandi.
“Aku tahu soal kecelakaan itu. Tapi aku masih belum tahu kenapa kalian pisah. Mungkin aku nggak berhak untuk cari tahu. Tapi aku ngerasa ingin tahu.” Kemudian pintu taksi ditutup.
“Mau ke mana, mbak?” tanya supir taksi.
Belum sempat Winna menjawab, pintu sebelahnya terbuka. Kemudian Fandi duduk.
“Jalan pak,” Fandi kemudian memberi tahu alamat rumah Winna, “tapi muter dulu ya pak. Jangan langsung ke alamat itu.” Supir taksi menurut dan mulai menjalankan kendaraannya.
Winna melengos, menghindari Fandi. “Ngapain?”
“Karena kamu udah tahu semua, aku mau cerita. Tentang kecelakaan itu.”
Winna terdiam.
“Kalau kamu tahu soal kecelakaan itu, pasti kamu juga tahu aku sama Tika sempet deket kan?”
Winna mengangguk.
“Di hari kelulusan, aku bawa Tika pergi. Kita naik motor ke gunung, karena itu permintaan dia. Tapi aku nggak hati-hati. Di tikungan, aku nggak liat ada mobil. Dan yah, kamu tahu apa yang terjadi.
Tika nggak terluka parah memang. Cuma kakinya aja yang luka. Aku berkali-kali nyoba buat ketemu dia, tapi nggak bisa. Orang tuanya selalu nglarang Tika buat ketemu aku. Semua telepon dan sms ku nggak ada yang dibalas. Aku putus asa.”
Winna masih terdiam.
“Pada akhirnya, semua antara aku dan Tika berakhir tanpa ada yang bicara.”
Winna akhirnya bisa membuka suara. “Aku dengar katanya kemarin kamu sama Tika ketemu.”
Fandi mengangguk. “Cuma buat membicarakan masa lalu. Tapi kita sama-sama belum nemuin jalan buat ngakhirin semua. Kalau semua ini belum berakhir, aku mungkin nggak bisa menempuh jalan baru.”
“Aku nggak bisa terus maju kalau di antara Tika dan kamu belum berakhir. Kalau kalian belum bicara, maka semua artinya belum berakhir.”
Fandi menatap Winna penuh kebingungan. “Apa maksud kamu?”
Bersamaan dengan itu, taksi sampai di depan rumah Winna. “Aku turun. Sampai ketemu besok.” Dan pintu taksi ditutup.
“Masnya mau kemana?” tanya supir taksi.
“Balik ke tempat tadi aja, pak.”
Supir taksi menurut dan memutar kendaraannya. Membawa Fandi yang masih tetap dalam kebingungannya.
14
Winna menyadari kebodohannya sendiri.
“Kenapa tadi aku ngomong gitu sih! Aduh... Fandi sadar nggak ya?”
Winna cemas setengah mati. Sejak tadi yang ia lakukan hanyalah mondar-mandir tak karuan. Gadis ini terlonjak kaget saat hp di kantong celananya bergetar. Dengan cepat dikeluarkannya hp. Telepon dari Ivan.
“Hallo.”
“Hallo, Win. Ini Ivan.”
“Kenapa Van?”
“Mau pinjem catatan sejarah. Bisa? Buat nglengkapin data.”
“Boleh. Mau ambil kapan?”
“Sekarang bisa? Aku di sekolahmu.”
Winna terkejut. “Hah? Aku udah pulang. Tapi nggak papa, aku ke sana sekarang.”
“Maaf ya...”
“Nggak apa kok. Tunggu deh.”
“Ok.”
Kemudian telepon diputus. Winna mengambil catatan sejarahnya, memasukkannya ke dalam tas dan bergegas keluar lagi.
^^^
Ivan menutup teleponnya. Memandang sekitarnya. Sebenarnya tujuan utamanya hanya ignin bertemu Winna. Ia sedikit khawatir. Sebelumnya tadi ia sempat menelepon Fandi. Dari Fandi sedikit banyak ia tahu.
Fandi sudah bercerita pada Winna. Dan Ivan hanya ingin tahu apa yang dirasakan gadis itu.
Tidak begitu lama, dilihatnya Winna mendekat sambil tersenyum.
“Lama ya, Van?”
Ivan menggeleng. “Nggak kok. Maaf ya ngrepotin.”
“Van, aku mau minta tolong.”
“Apa?” tanya Ivan.
“Aku pengen ketemu sama Tika.”
Ivan terkejut. Namun kemudian pemuda itu tersenyum. Maklum.
“Aku bantuin.”
^^^
Minggu-minggu ini semua anak disibukkan dengan adanya ujian sekolah dan ujian praktek. Zia sedikit melupakan rasa cemburu yang sebenarnya dia pendam untuk Winna.
Fandi sebenarnya tidak semudah itu melupakan kata-kata yang di ucapkan Winna waktu itu. Tapi ia mencoba berkonsentrasi pada ujiannya dan mengesampingkan masalah itu untuk sementara waktu.
Winna belum berbicara sama sekali pada Fandi sejak pembicaraan mereka di taksi. Agak khawatir juga sebenarnya, gadis ini. Apalagi besok ia dan Fandi harus pergi untuk menengok lokasi pemotretan. Winna menyingkirkan masalah Fandi dan Tika dari otaknya untuk sementara. Ia ingin berkonsentrasi dengan ujiannya.
Siang ini ujian tulis agama baru selesai. Winna menyalakan hp-nya. Baru saja hidup, ada sebuah telepon masuk dari nomor tak dikenal.
“Hallo.”
“Ini Tika.”
Winna terkejut. Dengan terburu-buru Winna mengambil tasnya dan menyingkir dari teman-temannya.
^^^
Kedua gadis ini duduk di dalam cafe tempat mereka bertemu tempo hari. Penampilan keduanya bia dibilang agak kontras walaupun mereka sama-sama memakai seragam sekolah.
“Aku di kontak Ivan. Dia bilang ada yang mau kamu bicarain sama aku. Apa?”
Winna menelan ludah. Bingung harus memulai dari mana. “Aku udah tau soal dulu kamu dekat sama Fandi. Aku juga tahu soal kecelakaan itu.”
Tika mengangkat alis. “Kamu kayaknya udah tahu semuanya. Apalagi yang mau kamu tahu?”
“Kamu tahu, Tik. Fandi, walaupun dia selalu berlagak tenang dan memasang topeng cool di wajahnya, dia selalu khawatir. Dia selama ini nggak bisa melangkah maju. Mencari cinta yang baru dan menutup lembaran yang lama.
Dia nggak bisa melakukan itu. Karena lembaran lamanya belum tertutup sempurna. Karena itu, aku hari ini datang untuk minta tolong. Tolong tutup lembaran lama kamu sama Fandi. Agar dia bisa maju lagi.”
Tika terdiam sejenak. “Kenapa kamu minta hal itu sama aku?”
“Aku bukannya ikut campur. Aku cuma nggak mau dia terkurung terus karena masa lalu yang belum berakhir dengan sempurna.”
Senyum tipis tersungging dibibir Tika. “Aku akan lakuin itu. Bukan demi kamu, tapi buat diriku sendiri.”
^^^
Fandi, Ardi dan lainnya sedang berada di perpustakaan sekolah. Menyusun bahan untuk praktek Bahasa jawa dan bahasa Indonesia. Fandi membuka-buka lembaran koran dengan bosan.
“Kenapa tema pidato buat bahasa Indonesia musti sosial sih? Aku nggak tahu harus ngomong apa,” celetuk Ardi.
Fandi tersenyum tipis mendengar komentar temannya itu. Hp-nya bergetar pelan. Ada sms masuk. Dari Tika.
^^^
Dua sejoli itu berjalan beriringan di alun-alun kota. Keduanya masih memakai seragam sekolah.
“Fan, aku inget waktu kamu pertama kali motret aku di sini. Aku masih simpen fotonya. Aku suka banget foto itu.”
Fandi tersenyum. “Aku juga inget. Kamu cewek pertama yang aku sukai. Dan orang pertama yang aku foto setelah ayahku nggak ada.”
“Tapi perpisahan kita nggak sebaik saat itu,” Tika tersenyum getir.
“Aku nggak mau ngungkit saat-saat itu, Tik.”
Tika balik menatapnya. “Aku juga. Sekarang aku cuma mau mengakhiri semuanya. Dengan cara yang jauh lebih baik lagi dari waktu itu. Aku mau minta maaf sama kamu. Karena nggak pernah ngehubingin kamu lagi setelah kejadian waktu itu.”
Fandi balas tersenyum getir. “Ya. Aku juga. Aku pengen kita ngakhirin semua ini. Dengan lebih baik.”
Kemudian keduanya terdiam tanpa bicara. Kemudian Tika membuka suara.
“Kamu harus terima kasih sama Winna buat semua ini.”
Fandi menatanya dengan bingung.
“Dia udah membuka mataku. Dan kamu harus berterima kasih sama dia.”
bersambung...
bersambung...
salam kenal
saran saya silahkan anda bawa cerita-cerita diblog ini ke penerbit mudahan diterima n bisa jdi buku