Story - Part 1

Di goreskan oleh Yunna , Senin, 31 Januari 2011 10.52

Aku pernah berjanji akan mempost cerita yang kubuat untuk Putra. Sekarang aku datang untuk memenuhi janji. Cerita aslinya sendiri adalah novel yang kutulis, jadi harap maklum kalau tulisannya panjang. Dan tulisanku ini juga pernah ku ikutkan ke dalam sebuah lomba.
Aku sendiri sedang tidak punya waktu untuk menulis karena harus bolak balik ke rumah sakit. Harap maklum ya....

Dan mungkin selama beberapa hari ke depan aku akan jarang blogwalking, tapi aku harap teman-teman akan tetap mau berkunjung ke sini. Karena tulisan ini akan terbit setiap hari, jam 11 siang.

Selamat membaca...

1



Matanya memandang bayangan di luar jendela sambil melamun. Menatap bangunan ruko dan pohon-pohon yang baru ditanam di sepanjang jalanan. Di helanya nafas panjang, keras. Ayahnya yang sedang menyetir menoleh sekilas. Kemudian mencolek bahu anaknya.
“Udah mau sampe Win, jangan melamun.”
Yang ditegur terkaget sendiri. Dengan kikuk di ambilnya tas dari jok belakang mobil. “Iyah... Winna tau.”
Mobil berhenti di depan gerbang. Winna membuka pintu mobil, kemudian mencium tangan ayahnya. “Dah... Nanti Winna pulang sendiri. Ga usah di jemput.”
“Hati-hati, jangan sampai kecopetan lagi kayak dulu.”
Winna meringis pelan. Selalu saja ia diberi pesan-pesan semacam itu tiap kali hendak pergi. Mungkin inilah nasib menjadi seorang anak tunggal. Seringkali diberi perhatian berlebih yang membuatmu capek dan kesal.
Kemudian Winna menutup pintu mobil dan melambaikan tangannya. Setelah mobil ayahnya pergi, Winna melangkah masuk ke dalam sekolah. Lapangan hijaunya tak pernah berubah. Lorong-lorong sekolah yang kuno terlihat ramai dipenuhi murid baru. Beberapa diantaranya masih terlihat kikuk dengan lingkungan barunya.
Gadis itu melamun lagi. Waktu terasa begitu cepat. Kini ia duduk di kelas XII. Kelas yang akan menjadi tahun terakhirnya di SMA. Tahun yang harus dilaluinya dengan penuh kenangan agar ia tak pernah merasa menyesal. Tanpa sadar Winna tersenyum sendiri.
“Win!”
Panggilan itu meyadarkan Winna dari lamunan. Dilihatnya Zia melambaikan tangan dari arah papan pengumuman yang masih agak sepi. Winna membalas lambaian Zia dan mendekati temannya itu. Winna dan Zia sekelas di kelas XI, dan berarti mereka juga akan sekelas lagi ditahun terakhir ini.
 “Ada yang berubah nggak dari kelas kita?”
Zia menggeleng lucu. “Ada satu tamu baru aja.”
Di sekolah ini, saat naik kelas XII memang tidak diacak lagi kelasnya. Jadi para murid akan sekelas dengan orang yang sama sampai lulus nanti.
Zia menujuk nama di barisan paling bawah. Maya.
Mata Winna berputar. Kemudian menatap secara keseluruhan kertas pengumuman yang di tunjuk Zia. XII IPS 2. Matanya menelusuri absen demi absen di sana.
“Aku absen 35 lagi,” Winna menggembungkan pipinya, “kenapa sih mesti absen bawah mulu. Sebel.”
“Kalau gitu ganti nama aja, hihihi...” Zia tertawa.
Winna ikut tertawa. Kemudia matanya menangkap nama di atas absen temannya itu. “Kamu sama Fandi urutan lagi absennya?”
Zia tersenyum salah tingkah. “Iya. Kan namanya urutan. Fandi sama Fauziah.”
“Seneng dong...” goda Winna lagi.
“Udahan ah! Cari kelas kita aja yuh.”
Winna tetap tertawa. Gadis itu senang melihat temannya yang sedang jatuh cinta itu malu.
Saat berbelok di ujung lorong, Winna menangkap bayangan wajah seseorang di depan kelas XII IPA 2. Gadis ini tersenyum kecil dan menarik nafas. Kemudian melewati orang tersebut dengan cuek, seolah tak ada apa-apa.
Widhi yang sesaat tadi merasa sedang di amati reflek menoleh. Dilihatnya gadis yang barusan melewatinya tanpa suara itu menjauh. Matanya perlahan menyipit, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mengingat masa lalu.
“Hoi... kenapa Wid?”
“Nggak.” Widhi tersenyum pada dirinya sendiri.
^^^
“Gelap banget ya? Agak pengap lagi.”
Winna memandang kelasnya yang sekarang. Zia mengganguk setuju, sambil berjalan ke arah bangku kosong di baris ketiga.
“Aku duduk sini. Kamu mau di mana Win?”
Bersamaan dengan pertanyaan Zia, seseorang masuk ke dalam kelas. Fandi. Winna tersenyum. Sementara Zia membuang muka, pura-pura tak melihat.
Fandi juga teman sekelas mereka. Dan Zia sudah suka padanya sejak masih kelas X. Yah, dia juga pintar sih. Pintar pelajaran dan setahu Winna suka fotografi. Tapi banyak anak yang bilang kalau dia orangnya cuek.
Winna meletakkan tasnya, kemudian beranjak duduk di sebelah Zia.
“Kok dia dicuekin sih?” bisik Winna.
“Terus aku harus ngapain?” Zia menjawab sambil berbisik juga. Winna berdiri.
“Jalan-jalan yuk? Ngobrol di luar.”
Kedua gadis ini berjalan di lorong sekolah. Mengobrol banyak hal. Kehidupan, cita-cita, cinta, mimpi dan masa depan. Mereka belum tahu apa yang akan terjadi. Atau apa yang menunggu mereka. Menunggu persahabatan mereka, atau perpisahan mereka...
^^^
Dua bulan kemudian....

Winna meletakkan kepala di atas mejanya, berbantalkan tangan. Tidak peduli dengan guru yang sibuk bercuap-cuap menjelaskan entah apa di depan kelas. Rara, teman sebangkunya sibuk dengan kacanya.
Ia menghela nafas panjang. Pikirannya dengan mudah berkelana. Memikirkan begitu banyak hal yang terus bersliweran di dalam otaknya.
Ujian kelulusan yang tinggal 8 bulan lagi, pelajaran yang semakin sulit masuk dan dicerna otaknya yang pas-pasan, dan masalah hati. Matanya melirik keluar pintu, ke arah bangku koridor seberang. Seketika jantungnya seperti melompat. Ada Widhi disana.
Seperti sadar sedang diperhatikan Widhi menoleh. Winna seketika gelagapan, buru-buru mengalihkan pandangannya. Winna menghela nafas sekali lagi. Dulu ia memang sempat suka pada Widhi. Tapi hanya sekedar suka saja. Tak pernah ada niat untuk dekat atau menyatakan perasaan sama sekali.
Dan Winna ingat sendiri, dulu ia bernah berjanji pada diri sendiri untuk melupakan Widhi. Melupakan bahwa ia pernah jatuh cinta pada pemuda itu. Winna menggigit bibir perlahan.
“Kenapa belum bisa lupa sih...” gerutu Winna pada dirinya sediri.
“Winna Adiningtyas.”
Winna yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri itu sama sekali tak menyadari panggilan guru barusan. Rara meletakkan kacanya dan menyenggol siku gadis itu. Berhasil. Winna menoleh. Bibirnya mengucap “apa” tanpa suara.
“Winna Adiningtyas.” Sekali lagi Bu Yani memanggil dari depan kelas.
Winna tersentak dan langsung menegakkan badan dalam satu gerakan. Melihat Bu Yani ‘tersenyum’ di depan kelas, Winna meringis.
“Kenapa kamu nggak memperhatikan pelajaran, Winna Adiningtyas? Kamu ngantuk?”
Otomatis Winna menggeleng. “Nggak Bu.”
“Terus kenapa?”
“Anu,” Winna menggaruk kepalanya, “cuma melamun biar nggak ngantuk aja Bu.”
Jawaban Winna yang tanpa berpikir itu spontan membuat teman sekelasnya cekikikan.
“Itu sama aja. Sekarang kerjakan jurnal umumnya di depan kelas. Cepet.”
Ogah-ogahan Winna meraih kertas soal fotokopian di meja, kemudian maju ke depan kelas.
Ini akan jadi hari yang panjang dan melelahkan, batinnya perlahan.
^^^
Bel pulang sekolah berbunyi. Winna yang hampir tertidur di kelas karena ceramah panjang guru agama tersadar. Matanya yang sendari tadi sipit kembali membuka lebar. Rara sudah berlari keluar kelas. Siap berebut tempat duduk di kelas mereka untuk pelajaran tambahan.
Diam-diam Winna merutuki sistem pejaran yang moving class ini. Buat capek orang saja, batinnya.
Tiap kali bel pergantian pelajaran berbunyi, spontan anak-anak akan berlarian menuju ruang kelas berikutnya. Berebut tempat duduk paling strategis di kelas.Seringkali terjadi tragedi tabrakan kalau lorong sekolah penuh.
Seperti sekarang. Winna memelototi anak kelas X yang tadi menabraknya saat akan masuk kelas. Tasnya yang sengaja tak ditutup jatuh dan memuntahkan semua isinya. Buku tulis dan kertas-kertas fotokopian yang belum distaples bertebaran.
Sekali lagi Winna mengeluhkan sekolahnya yang tidak membolehkan murid memakai buku cetak untuk pelajaran. Sebagai gantinya adalah modul dan kertas-kertas fotokopian pelajaran yang seringkali merepotkan.
Apanya yang sekolah bertaraf internasional, ini sih malah bikin murid boros duit fotokopi, batinnya lagi. Apalagi jika menjelang musim ualangan. Hampir semua fotokopian banjir rezeki.
Setelah sibuk dengan isi tasnya, Winna beranjak masuk. Matanya mencari-cari di mana Rara duduk. Bangku paling belakang. Sambil mendesah pelan Winna berjalan mendekati teman sebangkunya itu.
“Kok di belakang sendiri sih? Aku bisa tidur kalo gitu...”
“Gak papa kan? Aku juga mau tidur rencananya,” Rara menyahut dengan cuek. “Kantin yuk,aku mau makan.”
“Aku haus,” Winna mengekor di belakang Rara.
Sekembali dari kantin, terdengar suara riuh dari dalam kelas. Anak-anak sedang menggoda Zia dan Fandi. Kedua orang itumemang sering dijodoh-jodohkan sejak kelas X gara-gara absen mereka yang selalu berurutan.
Terlihat wajah Zia agak merah, sementara Fandi cuek. Tetap sibuk dengan hp-nya. Winna menatap Fandi sejenak. Orang aneh, sama sekali nggak keganggu sama gosip kayak gitu, batinnya. Kemudian beranjak duduk di tempatnya.
Baru saja duduk dibangkunya, Anita yang duduk di depan Winna membaikkan badan. Tersenyum.
“Ntar kamu les matematika  kan, Win?”
Winna mengangguk.
“Berangkat ikut siapa? Aku apa Zia?”
Winna berpikir sejenak. “Kamu. Aku bawa helm kok.”
“Oke...”
Baru akan membuka suara lagi, guru bahasa indonesia masuk ke dalam kelas. Anita buru-buru berbalik, kembail ke tempatnya. Sementara Winna mengeluarkan earphone dari dalam tas, menyambungkan ke Hpnya, kemudian memasangkan ke sebelah telinganya. Yang sebelah lagi langsung di sambar Rara, yang juga ikut mendengarkan musik bernada agak keras yang mulai mengalun. Menghentak dan perlahan mengusir kantuk dan malas yang sempat membebani mata dua gadis ini.
Dibantu earphone dan musik, Akhirnya Winna bisa melalui waktu tambahan dengan selamat, tanpa tertidur walau matanya sudah sangat berat.
Di hampirinya Anita yang sedang mengobrol dengan Zia dan Meta di depan kelas, sambil membuka-buka majalah.
“Berangkat gak?
“Iya...”

2

Fandi keluar kelas dengan tak bersemangat. Ia ingat jadwal les matematikanya hari ini. Ia ingin bolos kalau bisa. Ada tempat yang ingin dipotretnya. Tadi ia sempat melihat Winna, Zia, Anita dan Meta siap berangkat. Fandi memang satu kelompok les dengan gadis-gadis itu.
Ardi menepuk bahu Fandi. “Berangkat gak coy? Mbok telat lho.”
“Iya.”
Di tempat parkir, sepasang mata Fandi dengan mudah menemukan Winna yang sedang mengobrol dengan Anita. Suara tawanya samar-samar terdengar. Fandi tersadar saat Winna balas menatapnya sekilas. Kemudian Naik ke motor Anita dan pergi.
“Aku kenapa sih,” gumam Fandi pelan.
^^^
Les berlangsung agak membosankan menurut Fandi. Di sebelahnya, Ardi sibuk mengobrol dengan Meta sejak tadi. Dia bisa mendengar percakapan dua orang itu dengan jelas. Tentang yearbook. Meta mengoceh tentang betapa malasnya ia menjadi koordinator kelas untuk yearbook. Dan Meta berencana mencari penggantinya.
Fandi tidak peduli. Matanya kembali menatap whiteboard yang penuh dengan rumus. Dari sudut matanya ia melihat Winna menguap. Lagi. Entah sudah keberapa kalinya dalam waktu sejam ini. Gadis itu mengibaskan rambutnya yang panjang ke belakang. Kemudian menopang dagu dengan ekspresi bosan.
Saat guru mereka keluar, Meta mencolek bahu Winna. “Win.”
“Kenapa?” Winna menoleh dan memutar tubuhnya kebelakang.
“Kamu mau nggak gantiin aku jadi koordinator kelas buat yearbook?”
“Hah? Gak mau ah,” spontan Winna menolak.
“Ayolah... sama Fandi juga. Fandi kan jago fotografi, Winna jadi juru bicara. Ya...” Meta tersenyum, “aku capek Win.”
Winna menatap Fandi sebentar. “Kalau gitu boleh deh. Yang penting gak ngurus sendirian,” kemudian tersenyum.
Fandi menghela nafas. Winna masih memandangnya. “Iya deh.”
“Haaa... makasih ya... kalian berdua emang bisa diandalkan.” Meta tampak girang sendiri.
Diam-diam Zia tersenyum miris. “Kenapa bukan aku?” lirihnya.
^^^
Jam les selesai. Fandi melirik Winna yang sedang keluar kelas sambil menelepon. Tangan kiriny memegang hp, sementara tangan kanannya memakai sepatu.
Winna menegakkan badan dan teringat sesuatu. Segera ia mengeluarkannya dari dalam tas dan melambaikannya.
“Aku punya modul komputer, pada mau fotokopi gak?”
“Mau!” Anita langsung menjawab, “yang lain?”
“Kayak gitu kok tanya. Ya mau lah. Yoto!”Ardi menjawa dengan mimik muka lucu yang langsung membuat Anita menendang kakinya.
“Sakit tahu!” Ardi melotot sambil memegang kakinya dengan wajah kesal.
Fandi meraih modul tipis itu dari tangan Winna. “Fotokopi di pinggir jalan sana kan? Buruan yuk.”
“Ayo berangkat!!” Meta berseru dengan semangat.

Di rumah, Fandi membaringkan badan di kasur. Memejamkan matanya. Tadi Winna bisa dengan mudah menerima pekerjaan yang merepotkan ini. Menjadi koordinator kelas yearbook. Hal yang sebenarnya tak ingin dia lakukan.
Tapi saat mengingat rekan kerjanya, Winna. Diam-diam Fandi menyunggingkan senyum. Mungkin menerima permintaan Meta ini bukanlah hal yang buruk. Mungkin ini akan jadi menyenangkan.
Winna. Ia mengingat semua hal yang bisa diingatnya tentang gadis itu.
Mood dan perasaannya mudah berubah. Satu kali dia bisa jadi sangat ekspresif dan ceria. Tapi seringkali juga ia seakan menjadi kura-kura pemalas. Hanya menghabiskan waktu dengan tidur dan melamun di kelas.
Hp yang diletakkannya di atas kasur bergetar pelan. Ada pesan masuk. Buka. Dari teman SMP, Ivan. Mengabarkan kalau dia akan ke gunung hari minggu untuk megambil foto.
Fandi beranjak bangun. Menyalakan laptop dan mulai memilah-milah foto yang ingin dicetaknya besok.
Mungkin bersamanya akan hari-hari ke depan jadi mennyenangkan.
^^^
Fandi keluar dari parkiran sekolah sambil membenahi rambutnya yang sudah agak melewati kerah. Berjalan di koridor sekolah yang masih sepi. Udara dingin pagi masih terasa,  memaksa Fandi tetap memakai jaketnya.
Saat tinggal 10 meter dari kelas, Fandi melihat Winna berjalan dengan pelan. Helmnya masih dipakai di kepala, mata dan tangannya berkonsentrasi pada hp yang dipengangnya. Fandi mengangkat kamera yang di bawanya. Mulai memotret Winna. Tiap frame gambar yang di ambilnya entah kenapa membuat nafas Fandi serasa tertahan.
Sadar sedang diperhatikan, kemudian gadis itu mendongak. Tersenyum pada Fandi. Fandi langsung menurunkan kamera dan berjalan menghampiri Winna
“Kok gasik banget Fan?”
“Kayak kamu nggak aja,” Fandi menjawab seadanya. Tapi Winna tertawa.
“Kayak biasanya ya, kamu selalu lebih gasik dari aku. Berangkat dari rumah jam berapa?”
“Sekitar jam 6 mungkin. Kamu sendiri?”
Winna melepas helm dan memangkunya. “Aku insomnia tadi malem. Gak bisa tidur. Jadi bisa berangkat lebih pagi dari biasanya.”
Fandi mengangkat alis, “Insomnia?”
Gadis itu mengangguk, tersenyum lagi. “Sering. Tapi aku nggak papa kok.”
Fandi mengerti. Mungkin inilah alasan kenapa Winna sering terlihat mengantuk dan melamun di kelas. Winna mengeluarkan earphone, memasangnya. Kemudian gadis itu mengambil tempat duduk di sebelah tembok. Duduk dan merebahkan kepalanya di meja.
Fandi menatap siluet tubuh Winna. Mengambil beberapa gambar gadis itu. Dan terheran-heran sendiri kenapa ia melakukan hal itu. Kemudian memutuskan berjalan keluar kelas. Meninggalkan gadis itu sendirian dengan musiknya.
^^^
Winna menyadari kepergian Fandi. Diangkatnya kepala dari atas meja. Kedua tangannya bergerak merapikan rambutnya yang agak berantakan.
“Kenapa sih Zia bisa suka sama orang kayak gitu...”
“Dia bisa di ajak kerja sama nggak ya?”
^^^
Jika aku bisa mati.
Aku akan membawamu bersamaku.
Meleburkan jiwamu denganku.
Menyatukan harapan yang tak pernah padu.
Tak pernah bersatu.

Winna menatap puisi yang ditulisnya sendiri. Masa lalu, bisiknya pada diri sendiri.
Terkadang masa lalu akan menjadi hal yang sangat sulit dilupakan saat kita ingin. Winna ingin membuang semua bayangan yang berhubungan dengan Widhi jauh-jauh. Memang dulu itu kesalahannya sendiri bisa suka pada orang seperti itu.
Pada awalnya, Widhi hanyalah seorang teman sekelas biasa. Namun, dari ucapan seorang teman yang bilang bahwa Widhi sering memandanginya, mau tak mau Winna jadi penasaran sendiri. Ikut memperhatikan Widhi.
Dan akhirnya ia jatuh cinta.
Namun, entah apa yang membuat Winna sama sekali tak bergerak. Winna hanya menjadi pengagum. Sampai waktunya kenaikan kelas merka berpisah karena beda jurusan. Winna menerima nasib masuk ke kelas IPS, sementara Widhi dengan gemilang masuk kelas IPA.
Dan sampai sekarang kadang Winna masih sering memikirkan tentang Widhi. Walau tahu tak akan ada harapan sama sekali untuknya.
Winna merebahkan kepala di meja. Tidak peduli dengan suasana kelas yang ribut dan ramai di sekitarnya. Tak peduli dengan Rara yang berteriak-teriak.
Di ujung lain kelas, Fandi yang sedang mengobrol bersama Kaka dan Aji, sekilas melirik ke arah Winna. Perlahan ia tersenyum kecil. Dilihatnya Winna sedang ditarik-tarik oleh Rara, teman sebangku gadis itu agar mau keluar. Rara mengerahkan semua tenaganya dan berhasil. Winna jatuh dari kursi.
Winna melotot memandang Rara yang tertawa.
“Gak usah tarik-tarik dong! Sakit tahu.”
“Abis kamu nggak mau bangun. Keluar yuk, aku mau curhat.”
“Di sini aja curhatnya,” Winna membersihkan roknya dan berdiri, “aku males keluar.”
“Malu ah,” Rara menolak sambil tetap memengang sebelah lengan Winna, bersiap menariknya lagi.
“Tumben. Biasanya gak punya malu,” celetuk Winna yang langsung menghindar sebelum Rara mengamuk.
“Winna!!”

Setelah menghindari serangan Rara, Winna bergabung dengan teman-temannya di luar kelas. Di tatapnya Zia.
“Zi...”
Zia menoleh, “Kenapa?”
“Kok kamu bisa suka sama Fandi sih?”
Zia tersedak Ale-ale yang sedang di minumnya. Memandang Winna dengan panik.
“Jangan keras-keras dong,” Zia melirik sekitarnya dengan gelisah.
“Kenapa bisa suka?” Winna mengulangi pertanyaannya.
“Awalnya sih karena dijodoh-jodohin anak sekelas pas kelas X. Tapi lama-lama aku jadi suka beneran,” pandangan Zia menerawang, “tapi aku nggak berani buat bilang. Aku Cuma bisa kayak gini. Diam-diam suka sama Fandi.”
Winna menatap temannya dengan pandangan gemas. “Zia... manis banget sih kamu...”
Zia tertawa malu-malu.Kemudian, anak-anak lain sibuk menggoda Zia sampai gadis itu kehilangan kata-kata.
Winna tersenyum. Membuang pandangannya. Tanpa sadar ia melihat Fandi sedang memperhatikan dari balik jendela. Winna tersenyum, membuat Fandi kaget dan langsung membuang muka.
“Dasar orang aneh,”gumam Winna pelan.

bersambung...

A Love Letter

Di goreskan oleh Yunna , Rabu, 26 Januari 2011 22.00

This is love letter for you.
2 years ago, you said to me you want to read my letter. 
My love letter for you.
And now I write it for you. Just for you.
With all my heart, my tears and my love I wrote this letter.

Promise me you will be okay.
promise me you will be strong.
Promise me you will smile again. 
Laugh again. And get back your happiness again.
I don't care even if you leave me or hate me.
As long as you happy, I will happy too.
You will keep your promise, right?

If you won't, I will cry for you forever.


Aku khawatir.
Apa kau tahu itu?

Jantungku serasa berhenti saat aku menerima telepon itu. Itu nomormu, tapi bukan kau yang bicara. Itu suara pacarmu, atau bisa kusebut calon tunanganmu yang mungkin akan segera menjadi kakak iparku. Calon tunanganmu masih sama seperti dulu, ketus padaku. Tapi dari nada suaranya aku tahu dia bermaksud baik.

Kau tidak membuka matamu saat aku datang. Aku menangis saat melihat darah di wajahmu, di bajumu. Kau terbaring di ruang IGD dengan wajah yang sama ekali tidak ingin aku lihat. Senyum di wajahmu hilang. Raut wajah yang selalu kutunggu itu lenyap. Dan aku hancur saat itu. Dokter berkata kalau ada gegar otak dan mungkin kau akan koma selama beberapa hari.

Aku nyaris tidak bisa memejamkan mata dua hari belakangan ini. Aku takut saat kupejamkan mata, yang terbayang olehku adalah bayangmu. Aku takut kalau kupejamkan mata kau akan pergi tanpa berkata apa-apa padaku. Aku takut.

Dan hari ini, akhirnya kau membuka matamu.
Tanpa sadar air mataku jatuh. Keajaiban? Mungkin.
Kau pernah bilang padaku, keajaiban ada selama kita percaya. Keajaiban ada kalau kita mau membuatnya. Dan aku percaya itu.
Keajaiban datang setelah doaku melayang tanpa putus untukNya. Dan aku berterima kasih untuk itu...

Senyum tipis yang kau berikan serasa oase bagiku. Suaramu lirih, tapi aku bisa mendengarnya. Kau memanggilku, membuang tenaga yang baru kau dapatkan kembali. Hanya untuk mengatakan hal yang membuatku menangis lagi.

"Bener kan, Ly. Keajaiban itu ada. Aku masih ada di sini. Aku masih bertahan. Aku hidup."

Aku takut kehilangannya. Aku akui itu. Semua di antara kami memang sudah berlalu lama. Aku sudah lama berusaha merubah semua perasaanku menjadi perasaan untuk seorang kakak. Tapi sepertinya waktu belum sepenuhnya mengubah perasaanku.
Jauh di dasar hati, aku masih mempunyai rasa itu meski sedikit. Dan perasaan itu sekarang meluap. Mengalir keluar dari hatiku. Dan kali ini aku tidak akan berusaha menutupinya.


Catatan Yunna:
A love letter untuk kakak sepupu laki-lakiku. Sekarang dia terbaring di rumah sakit karena kacelakaan dua hari yang lalu. Kondisinya buruk. Dia menderita gegar otak dan pendarahan otak. Tulang tengkoraknya juga ada yang patah akibat benturan terlalu keras. Setelah koma selama dua hari, tadi sore dia sadar. Tapi kesadarannya belum sepenuhnya pulih dan agak kesulitan mengenali orang. Termasuk calon tunangannya.
Tapi dia mencariku saat sadar. Dan itu membuatku mau tak mau jadi meneteskan air mata.


Aku belum bisa melihat sinar matanya. Aku belum bisa melihat senyuman di wajahnya. Aku berdoa dia akan baik-baik saja...

Tidak Ada Pekerjaan Yang Memalukan

Di goreskan oleh Yunna , Senin, 24 Januari 2011 17.28

Tadi dari pagi sampai siang, aku menghabiskan waktu di bengkel untuk servis rutin motorku. Seringkali tiap melihat orang-orang yang bekerja di bengkel aku berpikir bagaimana mereka bisa betah bekerja di tengah kebisingan kendaraan.

Tiap kali elihat pekerjaan-pekerjaan lain aku juga sering berpikir, apa mereka tidak capek, apa mereka tidak bosan dan segala jenis pertanyaan yang lain.

Beberapa minggu yang lalu, aku menonton acara Bukan Jalan-Jalan Biasa di tvone. Bintang tamunya saat itu adalah Rin Sakuragi, seorang bintang film dewasa di Jepang. Jujur, aku terkesan waktu menonton wawancara itu. Tidak pernah terlintas di benakku seorang bintang film dewasa bisa menjawab dengan begitu bijaksananya.

Pekerjaan apa pun menurutnya sama saja. Dan selama ia bisa menikmati pekerjaan itu, dia tidak akan mempedulikan omongan buruk orang tentang dirinya. Karena ia mencintai pekerjaan itu.

Kalau kita berkiblat pada orang Jepang, mungkin yang namanya pengangguran di Indonesia bisa berkurang.
Dari yang aku tahu, orang Jepang menikmati apa pun pekerjaa yang mereka jalani. Tidak ada rasa malu atau pun takut di cemooh orang. Karena bagi mereka semua pekerjaan sama saja. Dan tiap pekerjaan punya tanggunga jawab sendiri dalam kehidupan manusia. Tidak ada pekerjaan yang memalukan selama kita bekerja dengan segenap kemampuan kita dan itu berguna bagi orang lain.

Sedangkan sebagian besar orang Indonesia lebih mementingkan prestice dari tiap perkerjaan. Mereka bisa membanggakan pekerjaannya kalau itu adalah pekerjaan yang menghasilkan banyak uang.

Tidak pernah ada orang yang bercita-cita menjadi petani atau neleyan. Tidak ada orang yang pernah bercita-cita menjadi tukang sampah dan petugas kebersihan. Yang ada orang-orang akan memilih menjadi pejabat atau pengusaha yang memiiki banyak uang.

Walau kita semua tahu, pejabat pun sesungguhnya lebih tergila-gila pada uang dan segala kemewahan yang mereka peroleh. Jarang di antara mereka yang peduli atau menikmati pekerjaan yang mereka lakukan dengan sepenuh hati.
Pada akhirnya mereka terjebak hutang atau terlibat korupsi karena jatuh cinta pada uang.

Sukses dalam pekerjaan di mata orang Indonesia adalah saat kita bisa menghasilakan uang yang banyak, rumah bagus, mobil mahal dan segala jenis kemewahan lainnya. Tapi menurutku itu bukanlah sebuah kesuksesan.

Menurutku sukses itu saat kita bisa menjalani hidup seperti apa yang kita inginkan. Tanpa ada beban. Dan kita bisa dengan bangga menerima diri kita sendiri, apa pun yang kita lakukan. Apa pun yang kita kerjakan.

Dan selama kita bisa, kita juga harus memberi penghasilan pada orang lain. Bukan apa-apa, aku hanya berpikir untuk membuat diri kita berguna bagi orang lain. Misalnya membeli gado-gado di pasar, membeli makanan dari pedagang kaki lima dan mencoba tersenyum dan memberi dukungan bagi petugas kebersihan atau polisi yang kita temui di jalan.

Uang bukanlah segalanya. Apa gunanya uang jika hati kita dalam kemurungan dan kesedihan karena tekanan?

Catatan Yunna:
Ini adalah catatan keprihatinan tentang pola pikir orang-orang kita tentang pekerjaan. Aku ingin menekankan, tidak ada pekerjaan yang memalukan. Tiap pekerjaan dan tiap insan manusia memiliki tanggung jawab sendiri dalam kehidupan.
Apa jadinya kita tanpa petani yang menanam padi dan bahan makanan lain?
Apa jadinya kita tanpa petugas kebersihan yang menyapu jalanan pagi?
Apa jadinya kita tanpa nelayan yang menangkap ikan di laut?


Tidak akan ada pekerjaan yang memalukan selama kita menikmati pekerjaan itu.

Broken Heart? Maybe...

Di goreskan oleh Yunna , Minggu, 23 Januari 2011 16.38

Kemarin malam, selepas magrib aku pergi makan di sebuah resto fast food di daerah alun-alun Purwokerto bersama Putri. Kami yang notabene sama-sama menganggur cuma menghabiskan waktu malam minggu dengan ngobrol dan tentu saja curhat. Agak iri rasanya melihat pasangan-pasangan yang bermesraan di mana-mana saat malam minggu begini...

Setelah makan, kami mampir di Masjid Agung alun-alun untuk sholat isya. Aku menunggu Putri yang masih sholat sambil duduk bengong di teras Masjid. Tahu siapa yang kutemui di sana?
Aku bertemu kakak sepupu laki-lakiku. Sudah cukup lama kami tidak bertemu. Dan jujur saja suasana jadi agak canggung saat kami bertemu. Kakak sepupuku bilang kalau ada yang mau dia bicarakan denganku, jadi Putri kusuruh pulang terlebih dulu sambil membawa motorku.

Putri menurut dan pulang setelah memberi kode agar aku meneleponnya setelah ini.

Aku dan kakak sepupuku cuma duduk di pinggir jalan. Pada awalnya hampir tidak ada pembicaraan yang penting di antara kami. Kami cuma membahas kegiatan masing-masing. Aku sudah sejak awal menebak kalau akan ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Benar saja, setelah sejam kami ngobrol tidak jelas raut wajahnya mulai berubah sebelum dia bicara lagi.

"Ly, aku rencananya mau tunangan sama pacarku yang sekarang. Aku pengen kamu jadi orang pertama yang tahu soal ini. Susah banget buat mutusin ini. Waktu pertama kali pacarku ngomong soal tunangan yang kepikiran sama aku langsung kamu. Soalnya kamu pacar seriusku yang pertama, tapi itu udah selesai. Sekarang kamu adek yang paling aku sayang."

Jujur saat mendengar dia bicara begitu ada bagian dari hatiku yang menangis. Aku memang sudah melupakan kalau aku pernah suka pada kakak sepupuku itu. Aku juga sudah merubah cara pandangku padanya. Dari seorang laki-laki menjadi sosok seorang kakak yang penting bagiku. Tapi tetap saja rasa itu muncul.

Walau kita sudah melupakan dan memutuskan untuk tidak lagi menyukai seseorang, tetap ada sebongkah perasaan tidak rela, sedih dan patah hati yang kita rasakan. Walau hanya sedikit pasti kita akan merasakan itu. Seperti aku.

Aku sama sekali tidak bisa mendefinisikan apa yang aku rasakan. Apakah ini patah hati?
Atau ini adalah sebuah rasa kecewa dan sedih untuk seorang kakak?

Kali ini aku berusaha menerima kabar yang dibawa kakak sepupuku dengan senyum walau terasa sakit. Ada seberkas sinar bahagia yang kutangkap dari sorot matanya. Dan aku tidak ingin merusak kebahagiaan itu dengan perasaan egoisku. Aku ingin mendukung apa yang diambilnya sekarang. Tentunya sambil menata kembali hati yang sempat pora poranda saat mendapat kabar kejutan itu.

Aku memang bukan seorang pecinta yang sempurna. Tapi aku belajar untuk sempurna dalam membawa perasaan dan menyampaikannya pada orang-orang yang aku sayang...

Apa ini sebuah pertanda patah hati?

Catatan Yunna:
Ini kabar yang benar-benar membuat syok.
Kemudian kami ngobrol sampai hampir tengah malam. Kakak sepupuku sepertinya berusaha menyakinkan kalau aku tidak apa-apa. Yah, aku memang tidak apa-apa. Setidaknya sekarang aku baik-baik saja...

Star

Di goreskan oleh Yunna , Jumat, 21 Januari 2011 17.31

Aku baru saja selesai mendownload sebuah dorama jepang tentang restoran italia, judulnya Bambino!
Dan jujur, aku benar-benar tergoda saat menontonnya. Aku jadi benar-benar ingin makan makanan Italia. Ada yang mau membawaku ke restoran Italia?

Dan hari ini lagi-lagi aku tergoda.
Tadinya aku pergi ke Gramedia hannya untuk membeli buku percakapan bahasa inggris yang di pesan kakak sepupuku. Tapi aku tergoda untuk membeli komik.
Padahal baru dua hari yang lalu aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak membeli komik lagi sampai mendapatkan lemari buku baru. Tapi pada akhirnya aku mengingkari janjiku sendiri.

Ada banyak komik baru yang keluar hari ini. Dan pada akhirnya aku menghabiskan hampir 170 ribu untuk membeli 10 komik dari 20 yang ingin kubeli.
Setelah keluar dari Gramedia aku baru sadar kalau aku memang bodoh. Mau di taruh dimana nanti komik-komik ini? Yang ada aku akan dimarahi Ibuku kalau sampai ketahuan beli komik baru.

Dan gara-gara komik itu, aku nyaris melupakan janjiku dengan teman kecilku, Bintang. Aku hampir lupa untuk membeli bahan untuk membuat spageti yang di pesan Bintang kemarin. Bintang menungguku pulang sambil cemberut dan mengomel.
Pada akhirnya aku harus memasak di bawah pelototan Bintang yang membuat semua nafsu makanku hilang.

Kadang punya teman masa kecil itu merepotkan ya?
Mereka bisa membaca apa yang sedang kita pikirkan dengan mudah. Seperti aku. Bintang bisa membaca pikiranku seperti sedang melihat secarik kertas bertulis. Dia tahu aku sedang agak kacau.

Dia juga dengan mudah menebak penyebab kacaunya aku. Katanya,

"Kalau kamu lagi bete pasti masakanmu keasinan. Aku nggak suka makan makanan keasinan. Makanya jangan bete terus."

Dia tidak menyinggung apa-apa. Tapi aku tahu kalau dia tahu dan peduli. Walau masakanku keasinan, Bintang tetap menghabiskan semuanya, termasuk bagianku yang sama sekali tidak aku sentuh.

Aku dan Bintang memang tumbuh bersama.
Kami sudah saling kenal sejak umur 4 tahun saat TK. Dan sejak saat itu tidak pernah sekalipun kami berpisah sekolah. Masa SD, SMP, SMA sampai kuliah sekarang kami lalui bersama.
Kata orang, kami bisa tahu pribadi yang lain lebih dari diri sendiri. Banyak juga yang bilang kalau kami ini jodoh. Aku cuma tertawa kalau orang-orang bilang begitu.

Bintang memang cerewet, merepotkan dan manja. Tapi dia sahabatku dan aku bersyukur ada dia. Walau dia sama sekali bukan tipe pendengar yang baik atau pemberi saran yang handal, aku akan merasa lebih baik saat dia tahu apa yang aku rasakan. Rasanya seperti ada tempat berbagi...

Catatan Yunna:
Banyak yang bilang kalau suatu saat nanti kami akan pacaran. Tapi aku rasa itu tidak mungkin. Kami sudah terlalu lama kenal, dan dia adalah teman baikku.
Aku berharap kami akan jadi teman selamanya.

He is always being my star...

This Is A Long Day...

Di goreskan oleh Yunna , Selasa, 18 Januari 2011 21.23

This is a very long day......
I was tired. Oh dear.....

Hari ini aku cuma pergi bersama sepupuku, Dini. Kami pergi ke sebuah cafe di Jalan Gereja sambil menunggu Putri selesai sekolah. Sejujurnya, itu menyenangkan. Tapi ternyata tidak semenyenangkan yang aku bayangkan sebelumnya.

Aku bertemu A.
Ini pertemuan pertama kami setelah libur semester gasal dimulai. Ini akan jadi mudah kalau saja A datang sendirian. Tapi dia datang bersama pacarnya yang dulu dibilangnya sudah putus.
Tadinya aku mau berpura-pura tidak tahu. Dan sepertinya A juga ingin melakukan hal yang sama. Kami duduk terpisah 3 meja, dan sebisa mungkin aku duduk agak menyamping dan menyembunyikan wajah.

Tapi sepertinya aku memang sial.
Pacarnya A sepertinya mengenaliku. Awalnya aku tidak sadar. Tapi kemudian Dini memandangku dengan pandangan awas-bahaya. Dan aku menoleh. Apa pemandangan yang pertama kulihat?

Pacar A berdiri di belakangku sambil memasang wajah yang kurang bersahabat. A sendiri bangun dari duduknya dan berusaha menenangkan pacarnya ( dan sepertinya sama sekali tidak berhasil ). Detik berikutnya, pacarnya itu sudah marah-marah dengan nada tinggi yang cepat, dan aku jujur tidak bisa mendengar apa yang diucapkannnya dengan jelas.

Tapi intinya aku menangkap kalau dia cemburu. Dia cemburu karena dulu A putus dengannya karena suka padaku. Dan sekarang saat mereka sudah kembali pun, menurutnya A masih tetap suka dan jarang memperhatikannya.
Aku sama sekali tidak berkomentar. Takut salah bicara. Lagipula aku sudah serng mengalami hal ini. Satu keberuntunganku, pacar A tidak memukul atau menampar seperti yang sudah-sudah kualami. Dia langsung pergi begitu saja.

Dan tadi saat di LIA, A terus-terusan mencariku. Bahkan sampai masuk ke kelasku berulang-ulang. Membuat aku berulang kali keluar kelas. Aku tahu dia hanya bermaksud menjelaskan.Tapi bagiku sama sekali tak ada yang perlu di jelaskan. Aku tahu dan aku maklum.

Saat pulang pun dia masih menguntitku, membuat gosip antara kami yang beredar di LIA semakin gencar. Dia sampai memohon dan mencegat motorku. Akhirnya aku menyerah dan mendengarkan apa yang ingin dia bilang.

"Aku emang udah balik sama pacarku. Tapi bukan berarti aku narik lagi apa yang pernah aku bilang sama kamu. Aku balik sama dia cuma biar aku bisa ngelupain kamu. Biar kita bisa jadi temen biasa lagi kayak dulu. Tapi kayaknya percuma. Waktu kamu kemarin-kemarin nggak angkat teleponku atau bales smsku aku jadi khawatir sendiri dan ngelupain cewekku. Ternyata emang susah ngilangin rasa suka ke kamu."

A memang tidak menuntut jawaban, karena aku yakin dia sudah tahu aku akan menjawab apa.

Ah, this is one of my worst day I've ever met....

Catatan Yunna:
Kenapa aku harus selalu mengalami yang namanya dilabrak atau dimaki-maki di depan umum seperti itu. Ini bukan yang pertama kali memang, tapi ini yang terburuk bagiku....

Fobia

Di goreskan oleh Yunna , Senin, 17 Januari 2011 17.30

Hari ini hujan turun lagi. Dan entah kenapa aku menikmatinya.
Kalau hujan turun, aku selalu merasa waktu berjalan dengan lambat. Semua hal jadi terasa menyenangkan bagiku. Aku benar-benar suka hujan.

Kali ini aku ingin bercerita tentang sepupuku yang punya sindrom sedikit aneh.
Sepupuku namanya Putri, dulu aku juga sempat bercerita tentangnya. Dan Putri itu fobia pada laki-laki.
Waktu dia punya pacar tahun lalu, fobia itu sedikit membaik. Tapi saat sekarang dia putus, fobianya pada laki-laki kembali lagi.

Melihat Putri seperti itu aku jadi ingat cerita komik. Sungguh konyol.

Padahal Putri itu cantik dan punya banyak penggemar yang selalu siap jadi pangerannya. Tapi sayangnnya Putri akan selalu kabur tiap kali harus berhadapan dengan laki-laki. Dia selalu gelisah jika ada di dekat laki-laki. Dan tiap kali di sentuh dia akan bereaksi berlebihan. Seringkali dia kabur saat ada yang menyatakan cinta padanya, pernah juga sampai pingsan karena kaget. Dan pada akhirnya akulah yang selalu menjadi wakilnya untuk menemui orang yang menembaknya itu. Ah, Putri...

Mantan pacar Putri, namanya Purba. Aku heran. Benar- benar heran. Hanya pada Purba Putri sama sekali tidak takut. Tapi sayangnya mereka putus akhir tahun kemarin karena alasan yang tidak mau diceritakannya.

Aku sendiri fobia pada laba-laba. Tiap kali melihat hewan yang satu itu, mulutku pasti kehilangan kontrol dan langsung menjerit.
Pernah satu kali di kampus, waktu itu baru selesai kuliah. Dan aku sedang menuruni tangga saat melihat laba-laba di pengangan tangga. Tanpa aba-aba aku menjerit dan berlari sampai jatuh dari tangga. Akibatnya kakiku keseleo, pinggangku sakit dan aku tidak bisa naik motor.

Tapi sepertinya fobiaku itu masih masuk akal ya?
Daripada Putri yang fobia pada laki-laki. Bagaimana nantinya dia ya.....

Catatan Yunna:
Gara-gara keseleo itu, aku tidak bisa membawa motor selama seminggu. Aku harus merepotkan Putra untuk antar jemput ke kampus. Aku berharap tidak akan bertemu dengan laba-laba lagi di kampus....

Apa Bedanya?

Di goreskan oleh Yunna , Minggu, 16 Januari 2011 15.03

Apa yang membuatmu memahami cinta?
Apa yang membuatmu yakin bahwa ia mengikutimu?
Apa yang membuatmu tahu bahwa itu cinta?

Manusia tak pernah menghargai cinta.
Kau diberi, malah kau buang.
Saat itu sudah hilang, kau akan mencarinya.

Saat ini aku memulai lagi pencarian atasnya.
Mencoba menelusuri jalan baru untuk menggapainya.
Karena aku ingin menemukan yang baru.
Menemukan yang cinta yang sebelumnya tak pernah aku tahu.
         Mencoba merasakan sebelum aku hilang.
 
 
 
Mengutip dari komik One Piece yang baru aku baca. Cinta itu datang seperti badai. Benarkah?
Ada saat dimana aku sama sekali tidak bisa mendefinisikan apa itu cinta. Bagaimana ia datang, dan bagaimana cara kita menebak kedatangannya.
Kadang kita juga tidak bisa membedakan yang mana sayang, cinta dan nafsu. Jika kita hanya melihatnya sekilas, semua rasa itu akan terasa sama. Tak ada bedanya. Dan sampai sekarang pun aku masih belum tahu pasti batasan antara keduanya.

Bintang, teman kecilku pernah bicara begini.

"Sayang itu ya kayak aku ke kamu sekarang. Aku sayang kamu, pengen ngelindungin kamu. Tapi rasa sayang ini bukan cinta atau nafsu. Kita udah terlalu lama kenal. Dan aku sayang kamu seperti aku sayang sama diri sendiri. Jadi bukan cinta."

Sementara A bilang begini.

"Awalnya aku sayang, tapi lama-lama sayang itu jadi cinta. Sekarang aku bisa terus deket kamu karena aku cinta. Inget, bukan nafsu. Karena kita bareng terus lama-lama aku jadi cinta."

Aku tahu perbedaan cinta dengan nafsu.
Kalau menurutku nafsu hanya rasa yang datang sementara. Bukan sesuatu yang tulus karena mengharakan sesuatu sebagai balasan.
Sementara cinta itu tulus. Rasa itu datang denga sendirinya tanpa paksaan dan sama sekali tidak mengharap balasan apa-apa.

Sedangkan sayang??
Sampai sekarang aku masih sering bingung membedakan antara cinta dengan sayang...
Ada yang bisa jelaskan untukku?

Catatan Yunna:
Karena sering bingung itu, aku seringkali jatuh cinta pada sahabat sendiri. Tanpa tahu yang sebenarnya aku rasakan itu cinta atau sayang belaka....

Picture taken from here.

Moodku......

Di goreskan oleh Yunna , Sabtu, 15 Januari 2011 16.25

Kali ini aku sakit.
Aku terluka karena dia.
Aku menangis.

Air mataku bagai sungai.
Sungai yang ingin kupakai untuk menghanyutkanmu.
Membawamu jauh dari kehidupanku.

Di manakah obatnya?
Obat dari duri yang kau tancapkan.
Duri yang merobek hatiku dan mengucurkan semua rasa.

Di mana aku harus mencari?
Dihatimu?
Atau di hatinya?

Puisi itu kutulis saat aku sedang dirundung perasaan mellow dan ingin menangis. Waktu itu, aku sedih tanpa alasan. Rasa sedih tiba-tiba menyeruak dan membuatku ingin memangis. Dan daripada nantinya dicurigai karena menangis tanpa alasan, akhirnya sebagai pelampiasan aku mendownload banyak film-film emosional yang menguras air mata.

Dan sekarang, entah kenapa moodku kembali lagi menjadi mood mellow itu. Aku sama sekali malas untuk keluar. Rasanya semua semangatku menguap. Yang ingin aku lakukan hanya di rumah. Kalau mengutip kata teman masa kecilku, "Musimnya merenung".

Haah...
Aku ingin mengembalikan lagi moodku yang hilang...
Ada yang tahu caranya?

Karena kalau aku dalam mood begini biasanya insomniaku bertambah parah. Jarang bisa tidur karena rasanya ingin memangis terus.........