Today

Di goreskan oleh Yunna , Jumat, 25 Februari 2011 16.02

Aku jadi sering sekali pusing akhir-akhir ini.
Kuliah mulai tanggal 1 Maret, dan sekarang aku pusing mengurusi KRS dan menemui dosen pembimbing. Insomniaku juga menambah daftar pikiran. Aku semakin sulit tidur malam belakangan. Sebagai ganti istirahat malam yang sering terganggu, aku jadi rutin tidur siang sekarang.

Hubunganku dengan Putra juga agak memburuk belakangan. Ada masalah yang sulit di selesaikan. Dan sekarang aku sama sekali tidak ingin membuka masalah itu sementara ada banyak hal yang harus aku pikirkan.

Tadi pagi, aku masih tidur saat Bintang, teman kecilku menelepon. Dia memintaku menemaninya ke kampus untuk mengurus KRS. Aku bilang tidak mau dan langsung menutup telepon. Tapi sepertinya anak itu tidak mau tahu.
Jam 8 pagi waktu sedang sarapan, dia muncul di depan rumahku. Memaksaku menemaninya ke kampus. Akhirnya aku setuju.

Aku punya alasan kenapa enggan menemaninya untuk mengurus KRS. Yang pertama, karena Bapendik kampusku itu sama sekali tidak beres. Setiap kami bertanya atau membuat pengaduan, kami cuma akan di lempar ke sana kemari.
Bapendik itu seperti musuh bagi para mahasiswa. Yang kedua, aku tidak mau ikut pusing mengurusi masalahnya Bintang.

Dan tadi aku juga bertemu dengan kakak sepupuku lagi. Dia sudah mulai datang ke kampus. Dan dia sudah menjadi dirinya lagi. Melihat semua yang terjadi belakangan, aku mulai berpikir.

Semua yang pernah terjadi dalam hidup, entah itu hal baik atau buruk. Pasti ada alasannya. Dan ada kalanya saat menghadapinya kita akan lepas kendali dan menghindari diri kita sendiri.
Namun, saat kita mencoba menjadi orang lain itulah justru semua yang datang pada kita menjadi tidak berujung. Yang bisa kita lakukan hanya menjadi diri sendiri dan berpikir ke depan untuk menyelesaikan semua yang datang pada kita.

Catatan Yunna:
Aku baru bisa posting....
Belakangan aku pusing dan bad mood. Ada banyak hal yang berkecamuk di pikiranku...

This is a Good Day, Maybe?

Di goreskan oleh Yunna , Jumat, 11 Februari 2011 20.00

Aku baru saja pulang. Dan rumahku gelap. Sepertinya orang tuaku pergi entah ke mana tanpa bilang, mungkin kesal padaku. Tadi pagi selesai sarapan aku langsung pergi tanpa bilang apa-apa pada mereka karena lupa.

Seharian ini aku jadi supir untuk kakak sepupuku. Ini jadwalnya untuk ikut terapi, dan tidak ada yang bisa mengantarnya hari ini. Aku tidak akan mungkin tega membiarkannya naik taksi. Jadilah hari ini aku pergi dengan membawa mobil bapakku dari rumah. Tidak mungkin kan aku membiarkan kakak sepupuku menyetir sementara aku masih bisa menggantikannya?

Oya, kakak sepupuku memang sudah keluar dari rumah sakit. Tapi dia masih membutuhkan terapi penyembuhan untuk menyempurnakan otot syarafnya yang rusak akibat kecelakaan. Terapi ini mungkin akan di jalaninya sampai 6 bulan ke depan.

Ruang Fisioterapinya menurutku sangat bagus. Di dominasi warna cokelat dan orange cerah di wallpapernya. Ada juga pegangan besi di beberapa sudut ruangan. Alat-alat terapinya juga bermacam-macam. Baru kali ini aku melihat dan masuk ruang Fisioterapi.

Terapis yang menangani kakak sepupuku sangat baik. Namanya Kinar, umurnya baru 35 tahun. Dia membiarkanku tinggal di dalam untuk melihat. Pada awalnya Bu Kinar mengira aku ini pacar kakak sepupuku. Tapi aku menggeleng dan kakak sepupuku bilang kalau aku sedang jadi supirnya untuk sehari.

Aku senang. Tapi aku juga sedih. Melihat kakak sepupuku harus menjalani terapi seperti ini membuatku miris. Tapi kakak sepupuku sendiri tampak tidak terbebani sama sekali dengan keadaannya yang sekarang. Dan aku tidak mau menunjukkan wajah sedih di hadapannya. Aku sudah pernah berjanji untuk tidak menangis lagi untuknya. Dan aku akan berusaha menepati janjiku itu. Karena kakak sepupuku juga sudah menepati janjinya untuk bertahan dan kembali seperti semula. Ceria dan tertawa kembali.

Karena itulah, aku tidak akan menangis lagi. Aku akan menjadi kuat untuk menepati janjiku padanya.

Terapinya berlangsung selama dua setengah jam. Selesai tepat saat jam makan siang. Dan kakak sepupuku mengajak, atau lebih tepatnya memaksaku untuk mencari makan dulu. He said,

"Its your job today..."

Setelah makan kakak sepupuku memintaku untuk ke baturaden. Tapi bukan ke obyek wisatanya. Kami punya tempat untuk main yang kami temukan saat pergi ke sana waktu kecil. Dan aku berhenti di pinggir jalan dan kami berjalan kaki ke situ.

Aku ingat yang di katakan kakak sepupuku waktu itu.

"Aku nggak pernah nyesel ngalamin kecelakaan ini. Aku yang sebelumnya sibuk dengan urusanku sekarang punya waktu buat mikir tentang banyak hal. Aku emang masih harus ikut terapi, tapi itu nggak akan jadi masalah. Asal aku punya orang-orang yang dukung aku, aku ngerasa labih hidup. Aku juga jadi tahu siapa orang-orang yang bener-bener tulus dan perhatian sama aku."

Jujur aku menahan tangis saat itu. Tapi kakak sepupuku menepuk kepalaku sambil bilang kalau aku ini cengeng.

Kami turun kembali ke Purwokerto sekitar jam setengah lima. Dan eyangku sudah menunggu di rumah sambil berkacak pinggang karena kesal. Eyangku khawatir bukan karena kami tidak pulang-pulang, tapi khawatir karena aku belum punya SIM A untuk mobil. Aku memang bisa menyetir mobil sejak SMA, tapi terlalu malas untuk ikut ujian SIM.

Pada akhirnya, hari ini berakhir dengan baik. Setidaknya bagitu menurutku...

Catatan Yunna:
Aku pernah gagal ujian SIM A. Dan itu membuatku malas untuk ikut ujian lagi meski Bapakku bilang kemampuan menyetirku sudah sempurna. Lagipula aku jarang sekali keluar menggunakan mobil. Aku lebih suka naik sepeda motor.


Mungkin nanti aku akan coba ikut ujian SIM A lagi...

Bunga Tidur?

Di goreskan oleh Yunna , Kamis, 10 Februari 2011 09.32

Selamat pagi....
Akhir-akhir ini rutinitasku kembali seperti biasa. Kakak sepupuku sudah keluar dari rumah sakit. Keadaannya sudah jauh lebih baik. Dia sudah bisa tersenyum dan tertawa lagi seperti biasa. Itu amat melegakan bagiku. Aku bisa kembali ngeblog dengan lancar seperti semula. Terima kasih bagi semua yang sudah mau membaca dan mengomentari cerita yang ku muat kemarin. Thank you...

Belakangan, kepalaku pusing akibat banyaknya hal yang terjadi di sekitarku. Kakak sepupuku kecelakaan, eyangku masuk rumah sakit, mbak ayu sepupuku yang sedang ribut dengan ayahnya, sampai seorang temanku yang ingin bunuh diri karena stres. Akan kuceritakan satu persatu sekarang.

Tentang kakak sepupuku yang kecelakaan itu sudah pernah kuceritakan bukan?
Selama dia ada di rumah sakit, aku jarang sekali melihat pacarnya. Pacarnya hanya datang waktu akhir minggu saja. Aku pribadi sih tidak mempermasalahkan hal itu, tapi beberapa tante dan budeku sibuk memprotes tentang hal itu. Dan sekali lagi, aku tidak mau ikut campur soal itu.

Kedua, eyangku masuk rumah sakit karena DBD di waktu yang hampir bersamaan. Ini spontan memecah perhatian keluarga besarku.

Belum lagi soal mbak ayu.
Mbak ayu itu sepupu yang berbeda 8 tahun denganku. Dia berencana menikah dengan pacarnya pertengahan tahun ini. Tapi ada satu masalah. Ayah mbak ayu adalah seorang duda, dan berencana menikah lagi tahun ini.
Ayah dan anak ini ribut soal tanggal pernikahan. Tidak ada yang mau mengalah. Keduanya sama-sama ngotot. Dan ini membuat banyak orang pusing.

Terakhir, tentang seorang temanku yang ingin bunuh diri. Kemarin dia mengajakku chatting via YM semalaman. Ya ampun, setelah mendengar ceritanya secara langsung aku jadi takut kalau mimpiku jadi nyata.

Aku punya keistimewaan sendiri. Aku ini jarang sekali bermimpi saat tidur. Saat aku tidur, sama sekali tidak bermimpi. Dan seringkali rasanya aku baru memejamkan mata beberapa menit, tapi ternyata sudah pagi.

Dan kalau tiba-tiba aku bermimpi, itu tandanya akan ada sesuatu yang terjadi. Karena hampir semua mimpiku itu selalu jadi kenyataan. Aneh? Atau terdengar seperti karangan? Tapi ini nyata. Mimpiku itu akan jadi nyata dalam jangka waktu yang berbeda. Hampir semua sepupuku punya kemampuan istimewa, namun berbeda-beda. Hal ini juga yang membuat aku jadi seorang penderita insomnia akut.

Kadang aku takut memimpikan sesuatu yang buruk. Dan kalau sudah bermimpi tentang sesuatu yang buruk itu seringkali aku jadi susah tidur karena takut. Dan kebiasaan itu terbawa sampai sekarang.

Dua hari yang lalu aku bermimpi kalau temanku itu meninggal karena bunuh diri. Dan aku jadi sulit tidur.

Banyak orang yang bilang kalau mimpi itu cuma bunga tidur. Dulu aku menanggapnya begitu. Tapi, hampir semua mimpiku itu selalu jadi kenyataan. Dan aku selalu memimpikan hal buruk yang terjadi.
Aku pernah berharap tidak punya kemampuan seperti ini. Aku juga sering memperingati siapapun yang muncul dalam mimpiku. Namun seringkali itu dianggap omong kosong. Kecuali eyang kakungku.

Dulu aku pernah bercerita pada eyangku tentang ini. Kalian tahu apa yang dia bilang?
"Kalau itu memang sudah waktunya yangkung pasti pergi. Kamu cuma mendapat gambaran apa yang akan terjadi. Dan anggap itu jadi peringatan. Anggap itu anugrah."

Apa ini anungrah?
Tapi aku takut...

Story - Epilog

Di goreskan oleh Yunna , Rabu, 09 Februari 2011 11.00

EPILOG


Mimpi dan masa depan hanya milik kita.

Mungkin kita akan selalu menempuh jalan yang berbeda.
Tapi apa kau tahu?
Aku selalu mengharapkanmu.
Berharap kau kan kembali ke depanku.
Dengan membawa sejuta mimpi dan harapan yang baru.
Aku akan selalu menunggumu.
Jadi tersenyumlah.
Dan berjuanglah semampumu.
Demi semua impianmu.
Dan terlabih lagi,
Demi aku seorang.

^^^
Dua setengah tahun kemudian.

Winna berjalan keluar dari sekre BEM dengan wajah kesal. Ia ingin mundur dari tugasnya sebagai sekretaris BEM. Gara-gara ini, tadi ia nyaris gagal di ujian yang dijalaninya. Tapi Aji sang ketua yang seenaknya itu selalu menolak permintaannya. Sepertinya sesekali ia harus sengaja membuat kesalahan agar dipecat dari keanggotaan BEM.
Langit hari ini sangat cerah.
Winna mendongakkan kepala. Matanya menyipit memandang langit. Apa kabarmu? Bisiknya dalam hati.
Winna kehilangan kontak dengan Fandi setelah mereka masuk kuliah. Tapi gadis ini tidak mempersoalkannya. Fandi sudah berjanji. Dan Winna sebisa mungkin juga akan menepati janji.
Kemudian dilihatnya Ivan mendekat.
Ivan, memilih masuk jurusan akutansi daripada fotografi. Katanya fotografi hanya hobi, dan akan dilakukannya di sela-sela waktu kosongnya. Sementara ia berkonsentrasi penuh pada kuliah dan cita-citanya sebagai seorang akuntan.
Zia masuk jurusan keguruan, menjadi guru matematika. Winna sangat yakin sahabatnya itu pasti bisa menjadi guru yang baik
Rara masuk kebidanan, membuat Winna kaget. Tidak menyangka kalau Rara yang takut darah akan masuk jurusan yang bertemu banyak darah seperti itu. Dan akan segera lulus tahun depan.
Ina dan Meta masuk ke hukum. Ardi masuk manajemen.
Sedangkan yang lainnya, sudah pasti mengejar apa yang mereka inginkan. Menempuh jalan yang sudah jauh-jauh hari mereka rencanakan.
“Hai Win,” sapa Ivan, “gimana ujianmu?”
Winna cemberut. “Nyaris gagal. Semalam aku lembur bikin laporan hasil rapat BEM.”
Ivan tertawa lepas. “Kalau aku sukses dong!”
“Kalau cuma mau pamer sama aku, pergi aja sana!”
Tawa Ivan bertambah lebar. “Nggaklah.”
Winna masih cemberut. Tak mau menanggapi pernyataan Ivan. Kemudian Ivan menyentuh bahunya.
“Kamu bener-bener nggak mau jadi pacarku Win?”
Sudah bukan rahasia lagi di kampus Winna kalau Ivan terang-terangan mengincarnya.
Winna langsung menggeleng dengan tegas. “Sekali lagi aku bilang nggak.”
Ivan mendesah. “Kamu bener-bener setia ya sama Fandi,” komentarnya, “kalau gitu aku punya kado.”
Ivan mengeluarkan sebuah amplop besar. “Buka deh!”
Winna menurut. Membuka amplop itu dan terkejut. Isinya foto-foto dirinya yang di ambil secara diam-diam. Perlahan Winna memandangi satu-demi satu foto itu. Teringat kata-kata Ivan.
“Fandi nggak akan ngambil gamar dengan obyek manusia. Kecuali kalau dia punya ketertarikan secara pribadi sama model itu.”
Foto terakhir, adalah foto di hari kelulusan. Foto anak-anak satu kelas. Di baliknya ada sebait tulisan tangan.

Aku berterima kasih kalau kamu mau nunggu aku.
Aku bersyukur bisa menemukan lembaran baru itu di dalam diri kamu.
Dan maaf karena aku baru bisa bilang sekarang.
Kalau aku cinta kamu.
Kali ini aku nggak akan melepas kamu lagi.
Aku nggak mau membuat kesalahan yang sama.
F


Dan air mata Winna jatuh. Ia tidak menyesal telah berjanji pada Fandi dulu.
Semoga langit ikut mengantarkan pesan cinta ini padanya. Winna terdiam menatap kertas itu. Ia rindu. Benar-benar rindu pada Fandi.
“Van,” panggilnya, “Dari mana kamu bisa dapet ini?”
Ivan tersenyum. “Orangnya langsung yang kasih sama aku. Tuh di sana.”
Winna terkejut. Mengangkat kepalanya dan terpana. Fandi berdiri di sana.
“Terharu sampai nggak sadar aku ada di sini ya?”
Dan Winna menangis.
^^^
Kedua orang itu berjalan berringan dibawah langit. Keduanya tersenyum.
Fandi menggenggam tangan gadis di sebelahnya dengan erat.
“Kamu tahu, Win. Saat-saat aku kuliah tanpa kamu itu awalnya berat. Tapi sekarang udah liat kamu rasanya hatiku jadi ringan. Aku bahagia.”
Winna tidak menjawab. Matanya kembali basah.
“Jangan nangis dong!”
Fandi menunduk dan menghapus air mata Winna dengan jarinya.
“Aku cinta kamu Win. Sekarang. Dan semoga sampai selamanya.”
Kemudian keduanya berpelukan dalam diam.
^^^


Oh cinta.
Selamanya engkau memang ada di hati.

Aku bersyukur bertemu denganmu.
Aku bersyukur bisa melihat semua senyummu.

Senyum yang kau tunjukan hanya padaku.
Sentuhan perhatian yang kau beri untukku.

Aku takkan menyesal bertemu denganmu.
Karena kau adalah yang terindah bagiku.

Karena kau nyawa dan hidupku.
Aku berjanji takkan melepasmu lagi.

Jangan pernah hilang dari mataku.
Jangan pergi dari pelukku.


Catatan Yunna:
Terima kasih untuk semua sahabatku yang sudah membaca cerita ini........ 

Story - Part 9

Di goreskan oleh Yunna , Selasa, 08 Februari 2011 11.00

17


Setelah kemarin bersenang-senang, sekarang saatnya kembali ke dunia nyata. Ujian.
Ini adalah ujian praktek hari terakhir. Pelajaran yang rata-rata dibenci oleh para wanita. Olahraga. Di ruang ganti, Ina berceloteh tentang betapa malasnya ia harus mengikuti ujian praktek ini.
Rara mengikuti jejak Ina. Berceloteh tiada akhir, yang membuat ruangan ganti ini terasa begitu ramai. Entah kapan lagi akan merasakan hal yang seperti ini. Dalam sebulan hal-hal seperti ini hanya akan menjadi kenangan.
^^^
Ini adalah salah satu jenis olahraga yang paling dibenci Winna. Lari. Dari semua jenis olahraga, inilah yang paling dibenci Winna. Guru olahraga sedang memberi pengarahan di depan lapangan.
“Nah, setelah ini yang laki-laki lari lebih dulu. Tapi tiap anak harus cari  partner buat menghitung waktu dulu. Laki-laki dengan perempuan. Cepat.”
Winna sedang ngobrol dengan Rara dan Ina saat Fandi tiba-tiba mencolek bahunya.
“Kenapa?”
“Itungin waktuku,” ucap Fandi. Kemudian pemuda ini pergi. Bergabung dengan anak yang lain untuk berlari.
Rara dan Ina berpandangan. Heran. Beberapa anak yang juga menyaksikan kejadian itu juga sama herannya. Tak menyangka Fandi akan meminta tolong pada Winna.

Penilaian lari berlangsung lancar. Winna seperti biasa ada di urutan belakang. Bukan apa-apa. Ia hanya malas memacu kakinya untuk berlari cepat. Toh yang penting nilainya masuk ke data guru.
Saat sedang mencuci muka di kran sekolah, Ina tiba-tiba memandanginya. Winna yang merasa tak enak akhirnya bertanya.
“Kenapa sih, Na?”
“Kamu,” ujar Ina dengan nada curiga, “lagi deket sama Fandi ya?”
Winna terkejut mendengar pernyataan Ina barusan. “Kenapa bilang gitu?”
“Tadi, waktu mau penilaian lari. Dia milih kamu dari sekian banyak cewek yang ada.”
Winna terheran-heran sendiri. “Terus kenapa? Kayaknya itu bukan hal yang istimewa deh...”
Ina mendengus kesal. “Tapi bagiku itu beda. Abis Fandi kan nggak biasanya bertingkah kayak gitu.”
Winna mencibir kesal. “Terserah,” balas Winna yang kemudian berlalu dari hadapan Ina.
“Winna!”
^^^
Setelah itu, hari berlalu dengan begitu cepat. Ujian masuk beberapa universitas sudah berlangsung. Beberapa anak sudah menentukan pilihannya dan berhasil masuk ke unversitas yang diimpikannya.
Winna berniat mengambil jurusan Akutansi di Universitas lokal. Dengan berbagai pertimbangan juga tentunya.
“Kamu mau masuk mana?” tanya Fandi tiba-tiba.
Winna terkejut. Sekarang mereka berdua sedang memilah foto untuk dimasukkan  ke dalam yearbook.
“Akutansi. Di sini aja. Aku nggak pergi ke luar kota.”
Fandi diam mendengar jawaban Winna.
“Aku masuk IKJ,” sahutnya tiba-tiba.
Sekali lagi Winna kaget, tapi gadis itu berusaha untuk tetap tenang. “Selamat.”
Fandi menarik Winna agar gadis itu mau menatapnya. “Kamu nggak sedih atau ngelarang?”
Winna tersenyum kecut. “Kalaupun aku ngelarang, apa hakku? Toh kamu ke sana buat mengejar impianmu jadi seorang fotografer. Aku nggak berhak buat melarang seseorang untuk mengejar impiannya.”
Fandi terdiam sebentar. “Jadi nggak apa-apa kan kalau aku pergi?”
Winna langsung mengangguk. “Itu pilihanmu. Yang bisa aku lakuin cuma berdoa agar semua mimpimu jadi kenyataan. Dan kalau semua itu udah terwujud, kembali ke depanku dan tunjukin kalau apa yang kamu pilih dulu bukanlah hal yang salah.”
Fandi tersenyum mendengar jawaban Winna. Kemudian dia menggenggam tangan gadis itu, membuatnya terkejut.
“Itu berarti kamu mau nunggu aku?” tanya Fandi lembut.
Winna menahan nafasnya tanpa sadar. Kemudian tersenyum. “Tergantung.”
“Apa?”
“Tergantung seberapa lama kamu suruh aku menunggu. Selama masih bisa sabar pasti akan aku tunggu.”
Jawaban Winna membuat senyum Fandi semakin lebar. Pada akhirnya Fandi berhasil membuka sebuah lembaran baru. Lembaran yang sebelumnya tidak ia duga sama sekali.
Fandi yakin, masa depan akan selalu menyambutnya. Dengan penuh senyuman.
^^^
Ini adalah hari kelulusan.
Winna memandang langit yang terlihat lebih biru daripada biasanya. Langit yang akan selalu mengantarkan seseorang menuju ke impiannya. Mimpinya. Mulai dari sekarang, ia dan teman-temannya akan menempuh jalan yang berbeda-beda.
Jalan yang mereka pilih dengan hati nurani. Jalan yang mereka anggap jalan terbaik untuk membawa mereka ke masa depan yang cerah.

Fandi menyiapkan kamera. Kemudian meletakkannya di atas meja. Fandi berlari dan bergabung dengan teman-temannya.
“Klik!”
Suara kamera bergema. Menghantarkan mereka semua menuju jalan yang berbeda.
Ina dan Rara berpelukan erat.
“Ra, janga lupain aku ya.”
“Pasti. Pasti, Na.”
Ardi yang biasanya belagu dan sok keren itu hari ini menangis bombay. Ia benar-benar sedih berpisah dari teman-temannya.
Fandi berjalan mendekati Winna. Diam-diam menggenggam tangannya.
“Aku pengen ngambil gambarmu Win. Buat yang terakhir sebelum kita pisah.”
Dan Winna mengangguk.
^^^
Langit sore itu begitu bersahabat. Winna turu dari sepeda motor fandi. Kemudian ia memegangi rambutnya yang terbang ditiup angin. Matanya menyipit memandang kota yang tampak kecil dari atas sini.
Fandi tersenyum di belakangnya. Menatap Winna dengan pandangan yang berbeda. Pandangan penuh cinta.
Entah kapan dan tanpa disadarinya, ia jatuh cinta.
Pada Winna yang keras kepala. Sangat moody dan hobi mendiktenya. Ia jatuh cinta.
Di angkatnya kamera. Mulai di ambilnya gambar gadis yang sebentar lagi takkan dilihtanya itu. Berdoa semoga langit selalu menghantarkan cintanya untuk Winna.

bersambung...

Story - Part 8

Di goreskan oleh Yunna , Senin, 07 Februari 2011 11.00

15


Winna menunggu Fandi sambil membaca contoh naskah pidato yang diberikan Rara kepadanya. Di minumnya jus melon yang dipesannya di kantin.
“Emang harus sepanjang ini ya Ra?”
Rara mengangkat bahu. “Kalau bleh singkat sih, aku milih yang singkat aja. Ngapain susah-susah mikir buat pidato panjang.”
Winna tertawa kecil. “Kamu bener.”
Selagi dua gadis itu mengobrol, Fandi muncul dengan keringatdi dahinya.
“Yuk.”
Winna mengerutkan alis. “Dari mana sih? Kok keringetan?”
“Bengkel.” Kemudian Fandi berlalu.
Winna buru-buru bangun dan melambaikan tangan pada Rara. “Dah!”
“Yang bener lho liat lokasinya!”
Winna cuma tersenyum lebar.
^^^
Untuk tema prom di pemotretan, jauh-jauh hari Winna dan Fandi sudah sepakat untuk mengambil setting lokasi pesta kebun. Winna dan Fandi meminjam setting sebuah resto keluarga mina wisata milik salah satu saudara Winna.
Fandi mengelilingi bagian belakang resto sambil terkagum-kagum.
“Tempatnya bagus kan? Cocok sama tema pesta kebun,” celetuk Winna.
Fandi mengangguk. “Untuk foto profil, kita bisa ambil di mana aja.”
Seorang pria paruh baya bertubh subur datang menghampiri. “Gimana? Bagus kan lokasinya?”
Winna mengangguk. “Makasih banyak ya, Pakde udah mau bantuin.”
Pria yang di panggil pakde itu tertawa. “Udah seharusnya bantuin keponakanku yang lagi bingung.”
Winna tertawa menanggapi ucapan Pakdenya itu. Kemudian seorang pelayan datang membawakan dua gelas minuman.
“Kalian minum aja dulu. Ini gratis. Pasti kalian capek datang ke sini.”
Setelah Pakdenya pergi, Fandi mendekati Winna. Winna memilih duduk di bangku terdekat. Mencoba menikmati suasana.
“Di sini dingin,” celetuk Fandi.
“Kan, aku udah bilang sama kamu biar bawa jaket,” ujar Winna.
Kemudian keduanya terdiam lagi. Sejak pembicaraan di dalam taksi itu memang suasana antara Fandi dan Winna menjadi sangat canggung.
Winna sebenarnya ingin menanyakan apakah Tika sudah bicara atau belum. Tapi mulutny terkunci. Ia tidak sanggup untuk membicaran tema pembicaraan yang mungkin agak sensitif itu.
Sementara Fandi, sebenarnya ia igin menanyakan pada Winna. Kenapa gadis itu meminta Tika untuk bicara dengannya. Fandi ingin tahu alasan kenapa gais itu melakukan hal semacam itu. Merasa kecanggungan ini tidakakan ada akhirnya, Fandi memilih membuka suara.
“Win,” panggilnya.
“Hm?”
Fandi menyiapkan mentaknya dulu sebelum bicara. “Kemarin aku sama Tika ketemu lagi.”
“Terus? Apa hubungannya sama aku?” tanya Winna balik.
Fandi menyandarkan tubuh ke kursi. “Kemarin kita bicara baik-baik. Mengenang masa lalu, banyak membicarakan hal yang dulu menyenangkan. Tapi bukan itu tujuan utamanya.
Pada akhirnya kita memutuskan untuk mengakhiri apa yang dulu belum sempet kita akhiri secara baik-baik. Kita berdua sepakat buat menutup semua lembaran yang pernah kita buka. Aku maupun Tika juga nggak mau selamanya terkungkung sama masa lalu.
Kita sama-sama mau mengambil sesuatu yang baru untuk hidup kita. Tika sudah menemukan itu di sosok pacarnya yang sekarang. Kalau aku,” Fandi sengaja memutus ucapannya.
“Kalau kamu apa?” tanya Winna.
Fandi menggeleng. “Nggak apa- apa. Aku pasti juga akan menemukan lembaran baru itu. Buku yang nantinya juga akan aku isi dengan semua cerita yang baru. Cerita yang berbeda.”
“Aku juga,” timpal Winna, “mungkin sekarang aku belum tahu harus apa dengan buku yang baru ini. Tapi aku yakin. Aku pasti juga akan mengisi semua lembaran buku itu dengan cerita yang baru. Cerita yang akan selalu membuat aku bsia tersenyum saat mengingatnya.”
Fandi terdiam. Kemudian tersenyum.
“Aku pengen bilang makasih. Terima kasih buat semua yang udah kamu lakuin buat aku.”
Winna menatap Fandi dengan bingung. “Memangnya aku ngelakuin apa?”
Sekali lagi Fandi tersenyum. “Banyak. Mungkin kamu nggak sadar. Tapi, kamu banyak membawa hal baru buat aku. Pelan-pelan masuk ke dalam diriku. Membuka sisi lain dari diriku yang selama ini nggak pernah aku sadari.
Membawa banyak senyuman dan arti baru buat aku. Makasih banyak,” ucap Fandi tulus.
Winna terpana. Tak tahu harus mengatakan apa.
“Fan,”
Fandi menoleh.
“Harusnya aku yang bilang kayak gitu. Di balik sikap cuekmu yang kadang-kadang bikin aku hilang kesabaran, kamu udah bantu aku buat nglewatin semua saat-saat terberat aku.
Saat dimana aku lagi berusaha menutup yang udah lalu. Waktu itu rasanya sakit. Berat banget. Tapi kamu datang. Membawa pergi semua beban yang udah memberatkan tangan dan hatiku buat menutup lembaran itu.
Terima kasih. Dari hati yang terdalam, aku bilang makasih,” ucap Winna tulus.
Kemudian keduanya tersenyum. Mungkin semua hal akan menjadi jauh lebih jelas sekarang.



16


Siswa-siswa di kelas Winna sedang ribut. Ini hari sabtu, dan ujian praktek tari baru saja berlalu. Besok akan ada pemotretan untuk yearbook.
Winna mengetuk-ngetukkan penghapus ke whiteboard. Meminta perhatian teman-temannya. Karena setelah ini ia akan menjelaskan lokasi untuk foto besok. Winna mengalihkan perhatian pada Fandi.
Yang diperhatikan sedang sibuk dengan kameranya. Memotret suasana kelas yang mungkin sebentar lagi tidak akan mereka rasakan. Beberapa anak langsung berpose narsis ketika sadar Fandi mengarahkan kamera ada mereka.
Entah beberapa lama lagi suasana seperti ini. Mungkin tak akan lama lagi...
^^^
Saat aku tersadar.
Aku sudah membukanya.
Membuka semua lembaran baru yang bersih.

Aku ingin menorehkan begitu banyak cerita.
Tentang aku, kau dan semua.
Cerita yang akan ku ingat dan ku kenang.

Akankah cerita ini tertaman abadi?
Aku tak tahu.
Aku hanya ingin mengenangnya.

Mengenang untuk diriku sendiri.
Agar aku takkan menyesal.
Menyesal saat aku buka lagi lembar yang baru.

^^^
Cuaca siang itu begitu bersahabat. Matahari bersinar, sesekali bersembunyi di balik awan putih yang menggumpal bebas di angkasa.
Kelas Winna sedang menjalankan pemotretan untuk yearbook. Tawa dan canda terlontar. Menyemarakkan suasana siang yang bersahabat. Saat ini jam makan siang. Semua anak sedang makan siang sambil berceloteh dengan ribut.
Zia sesekali melirik ke arah Winna. Gadis ini ingin bicara dengan Winna. Merasa bersalah karena pernah cemburu yang agak berlebihan kepada sahabatnya itu. Setelah mengumpulkan keberanian, Zia berjalan mendekati Winna.
“Win, aku pengen bicara.”
Winna menoleh, tersenyum. Keduanya berjalan di bagian belakang restoran.
“Aku mau minta maaf soal kemarin-kemarin. Rasanya aku ini bego banget Win.”
“Kenapa emangnya?”
“Beberapa bulan ini rasanya aku jadi orang yang paling bodoh,” ujar Zia, “aku cemburu sama kamu tanpa sebab yang jelas. Dan semuanya Cuma karena aku suka sama Fandi.”
Winna terdiam sebentar. “Nggak apa-apa. Itu wajar kok, Zi. Kalau aku di posisimu mungkin aku juga akan nglakuin hal yang sama.”
“Tapi,” potong Zia, “aku sampai-sampai menjauh dari kamu. Aku seolag malah menghindar dari kamu. Dan hal itu yang bikin aku makin ngerasa bersalah.”
“Kita ini temen kan, Zi?”
Zia mengangguk.
“Kalau gitu, gimana kalau kita mulai lagi semuanya dari awal. Kita berteman lagi kayak dulu. Sebelum kita jadi saling mejauhi gara-gara maalah Fandi. Ok?”
Zia tersenyum lebar. Kemudian dua sahabat yang sempat terisah itu berpelukan. Merayakan reuni mereka. Memang tidak seharusnya sebuah hubungan persahabatan hilang hanya karena rasa cemburu sementara.
Persahabatan seharusnya akan jadi jauh lebih abadi dari hubungan apapun. Tanpa terkontaminasi oleh hal lainnya.
^^^
Sore hari, semua sesi foto selesai. Para murid berganti pakaian dan bersiap pulang. Sebelum pulang, Winna berencana menemui Pakdenya terlebih dahulu. Gadis ini berpamitan dan melepas kepergian teman-temannya.
Winna melangkahkan kaki menuju ke ruang manajer. Melongokkan kepala ke dalam.
“Pakde,” panggilnya.
Pakdenya menoleh dari balik komputer dan tertawa lebar. “Masuk, Winna. Ada apa?”
Winna masuk dan duduk di depan Pakdenya itu.
“Foto-fotonya udah selesai. Makasih banyak karena udah di pinjemin tempat.”
Pakdenya itu tertawa. “Sama-sama. Mau makan malam dulu?”
Winna menggeleng. “Nggak usah. Aku mau langsung pulang aja. Capek. Tapi kalau lain kali mau di traktir juga boleh,” ujar Winna sambil tertawa.
Winna melangkahkan kaki keluar ruangan kantor. Sambil berjalan keluar, sesekali gadis ini menyapa para pelayan yang ia kenal.
“Kayaknya kamu kenal banyak orang ya, di sini?”
Winna menoleh. “Fandi? Kamu belum pulang?”
Yang ditanyai cuma bersandar di tembok luar restoran. “Karena kamu belum pulang, aku juga belum.”
Winna tersenyum. “Kamu nunggu aku?”
Fandi tidak menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya itu. Alihalih menjawab, Fandi berjalan menuju motornya dan mengambil helm. Menyodorkannya pada Winna.
“Kamu mau pulang nggak?”
Sambil tertawa Winna menerima helm dari tangan Fandi dan memakainya.
^^^
Zia dan Rara berjalan menuju pintu keluar restoran. Rara menghabisakan terlalu banyak waktu di kamara mandi. Membuat mereka tertinggal teman-teman yang lain. Begitu sampai di pintu keluar, reflek Zia menarik rara mundur. Mengajaknya bersembunyi.
“Zia, kenapa sih?”
Zia meletakkan satu telunjuk di bibir. “Liat tuh,” ujarnya.
Rara mengikuti arah pandangan Zia. Dilihatnya Winna dan Fandi di sana. Sedang bicara sambil bersiap-siap pulang. Mulut Rara sedikit terbuka. Tidak menyangka kalu teman sebangkunya itu kelihatan sangat akrab dengan Fandi.
“Kamu nggak apa-apa Zi?” tanya Rara.
Zia tidak menjawab. Sebagai ganti jawaban, Rara melihat Zia tersenyum. Dengan begitu tulus. Melihat senyuman Zia, tanpa sadar Rara juga ikut tersenyum. Masa depan pasti akan terlihat lebih baik.

bersambung...

Story - Part 7

Di goreskan oleh Yunna , Minggu, 06 Februari 2011 11.00

13


Winna membuka pintu kamarnya. Kemudian melepas tas dan berbaring di kasur. Ia ingin mencari tahu lebih banyak lagi. Winna menggigit bibir. Haruskan ia bertanya pada Tika? Tapi, sebaiknya sebelum Tika, ia harus mencari tahu dari Fandi terlebih dahulu.
Ditariknya nafas panjang. Kenapa ia harus memikirkan hal seperti ini? Ini sama sekali bukan urusannya. Ia tidak berhak ikut campur.
Winna bangun dan mengganti bajunya. Rambutnya di gulung dan diikatnya dengan agak asal-asalan. Ditariknya kertas dan mulai menulis.

Aku tertarik ke dalam sebuah pusaran yang tak bisa ku jelaskan.
Ada rasa ingin pergi.
Tapi aku terikat oleh arusnya.

Aku tak bisa lari.
Pada akhirnya aku terjerumus.
Aku terbawa dan bercampur dengannya.

Bercampur jauh ke dalam kehidupan yang tak bisa kujelaskan maknanya.
Bisakah aku berkelit?
Bisakah aku keluar?

Belum selesai menulis, hp-nya bergetar. Ada telepon masuk. Dilihatnya. Fandi. Dengan ragu-ragu diangkatnya.
“Kenapa kabur?” suara Fandi langsung menerjang telinganya bahkan sebelum Winna mengatakan ‘hallo’.
“Apa pedulimu?”
Didengarnya Fandi mendesah di ujung telepon. “Ada yang mau aku tanyain. Sekarang kamu ke alun-alun bisa? Kita ketemu di sana.”
Kemudian telepon ditutup. Winna memandang hp-nya dengan kesal. Mendecak kemudian bersiap pergi.
^^^
Fandi duduk di atas motornya sambil membaca ulang puisi di majalah sekolah. Apa yang sebenarnya sedang dipikirkan Winna saat membuat puisi ini? Apa ada hubungannya dengan Ivan? Seperti yang dilihatnya tempo hari.
Fandi mengacak rambunya dengan bingung. Apa sih yang sedang di pikirkannya?
Tidak lama kemudian Ia melihat sebuah taksi berhenti di seberang jalan. Dilihatnya Winna keluar dari dalam taksi. Kemudian gadis itu memandangnya dengan tatapan kesal yang sama sekali tak disembunyikan.
Fandi menelan ludah saat melihat Winna menatapnya seperti itu. Dengan langkah cepat Winna menyeberangi jalan.
“Kenapa?” tanyanya ketus.
Fandi menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian melambaikan kertas coretan desain. “Aku nggak ngerti. Bagian mana yang harus aku selesein.”
Winna memandang sekitarnya. “Kita diskusi di tempat lain aja. Jangan di sini, panas.”
Winna berjalan menyeberangi alun-alun, menuju sebuah restoran fast food. Fandi turun dari motornya mengikuti Winna yang sepertinya tidak begitu bagus suasana hatinya. Lebih baik jangan membuat gara-gara, batinnya.
Winna memesan es krim cokelat dengan porsi besar dan memakannya dengan gemas. “Apa yang nggak kamu ngerti?”
Fandi menunjuk rancangan yang dibuat Winna. “Apa yang harus aku lakuin sama desain ini? Kayanya udah nggak ada lagi yang perlu aku selesein.”
“Kalau menurut kamu udah nggak ada lagi yang perlu diselesein ya udah,” Winna mengangkat bahu.
Fandi mengeluarkan majalah yang tadi dibawanya, kemudian disodorkannya pada Winna. “Aku suka puisimu.”
Winna mengangkat wajah. “Bener?”
“Seolah aku bisa ikut ngerasain apa yang kamu tulis.”
Winna mengambil sesendok besar es krim dan menyuapkannya ke mulut. Fandi menatapnya dari sudut matanya.
“Kayaknya moodmu lagi jelek,” komentar Fandi.
Winna menjawab tanpa menatap Fandi. “Emang.”
“Gara-gara apa?”
Winna kesal ditanya terus. Jawaban yang keluar dari mulutnya tanpa sempat disaring otak terlebih dahulu. “Kamu.”
“Aku?” ujar Fandi sambil menunjuk dirinya sendiri, “aku ngapain emangnya?”
Winna tersadar, ia salah bicara. “Lupain aja.”
Fandi menggelengkan kepala. “Mana bisa lupain gitu aja? Barusan kamu bilang kamu bete gara-gara aku. Aku emangnya kenapa?”
“Lupain.”
“Gak bisa dong. Kenapa?”
“Lupain!”
“Winna! Please, bilang.”
“Kamu bener-bener mau tahu?” Winna meletakkan sendok es krimnya dengan kesal.
Fandi mengangguk. Menunggu jawaban Winna.
“Puisi dimajalah sekolah itu aku tulis karena kamu. Karena kamu dan Tika. Karena aku nggak tahu apa yang harus aku lakuin. Puas?” Winna langsung beranjak bangun, pergi.
Sementara Fandi tertegun. Perasaan Winna jadi tak enak karena dia dan Tika. Apa jangan-jangan...
“Winna! Tunggu bentar Win!”
Winna menghentikan taksi di pinggir jalan. Sebelum masuk ia berbalik, menatap Fandi.
“Aku tahu soal kecelakaan itu. Tapi aku masih belum tahu kenapa kalian pisah. Mungkin aku nggak berhak untuk cari tahu. Tapi aku ngerasa ingin tahu.” Kemudian pintu taksi ditutup.
“Mau ke mana, mbak?” tanya supir taksi.
Belum sempat Winna menjawab, pintu sebelahnya terbuka. Kemudian Fandi duduk.
“Jalan pak,” Fandi kemudian memberi tahu alamat rumah Winna, “tapi muter dulu ya pak. Jangan langsung ke alamat itu.” Supir taksi menurut dan mulai menjalankan kendaraannya.
Winna melengos, menghindari Fandi. “Ngapain?”
“Karena kamu udah tahu semua, aku mau cerita. Tentang kecelakaan itu.”
Winna terdiam.
“Kalau kamu tahu soal kecelakaan itu, pasti kamu juga tahu aku sama Tika sempet deket kan?”
Winna mengangguk.
“Di hari kelulusan, aku bawa Tika pergi. Kita naik motor ke gunung, karena itu permintaan dia. Tapi aku nggak hati-hati. Di tikungan, aku nggak liat ada mobil. Dan yah, kamu tahu apa yang terjadi.
Tika nggak terluka parah memang. Cuma kakinya aja yang luka. Aku berkali-kali nyoba buat ketemu dia, tapi nggak bisa. Orang tuanya selalu nglarang Tika buat ketemu aku. Semua telepon dan sms ku nggak ada yang dibalas. Aku putus asa.”
Winna masih terdiam.
“Pada akhirnya, semua antara aku dan Tika berakhir tanpa ada yang bicara.”
Winna akhirnya bisa membuka suara. “Aku dengar katanya kemarin kamu sama Tika ketemu.”
Fandi mengangguk. “Cuma buat membicarakan masa lalu. Tapi kita sama-sama belum nemuin jalan buat ngakhirin semua. Kalau semua ini belum berakhir, aku mungkin nggak bisa menempuh jalan baru.”
“Aku nggak bisa terus maju kalau di antara Tika dan kamu belum berakhir. Kalau kalian belum bicara, maka semua artinya belum berakhir.”
Fandi menatap Winna penuh kebingungan. “Apa maksud kamu?”
Bersamaan dengan itu, taksi sampai di depan rumah Winna. “Aku turun. Sampai ketemu besok.” Dan pintu taksi ditutup.
“Masnya mau kemana?” tanya supir taksi.
“Balik ke tempat tadi aja, pak.”
Supir taksi menurut dan memutar kendaraannya. Membawa Fandi yang masih tetap dalam kebingungannya.

14


Winna menyadari kebodohannya sendiri.
“Kenapa tadi aku ngomong gitu sih! Aduh... Fandi sadar nggak ya?”
Winna cemas setengah mati. Sejak tadi yang ia lakukan hanyalah mondar-mandir tak karuan. Gadis ini terlonjak kaget saat hp di kantong celananya bergetar. Dengan cepat dikeluarkannya hp. Telepon dari Ivan.
“Hallo.”
“Hallo, Win. Ini Ivan.”
“Kenapa Van?”
“Mau pinjem catatan sejarah. Bisa? Buat nglengkapin data.”
“Boleh. Mau ambil kapan?”
“Sekarang bisa? Aku di sekolahmu.”
Winna terkejut. “Hah? Aku udah pulang. Tapi nggak papa, aku ke sana sekarang.”
“Maaf ya...”
“Nggak apa kok. Tunggu deh.”
“Ok.”
Kemudian telepon diputus. Winna mengambil catatan sejarahnya, memasukkannya ke dalam tas dan bergegas keluar lagi.
^^^
Ivan menutup teleponnya. Memandang sekitarnya. Sebenarnya tujuan utamanya hanya ignin bertemu Winna. Ia sedikit khawatir. Sebelumnya tadi ia sempat menelepon Fandi. Dari Fandi sedikit banyak ia tahu.
Fandi sudah bercerita pada Winna. Dan Ivan hanya ingin tahu apa yang dirasakan gadis itu.
Tidak begitu lama, dilihatnya Winna mendekat sambil tersenyum.
“Lama ya, Van?”
Ivan menggeleng. “Nggak kok. Maaf ya ngrepotin.”
“Van, aku mau minta tolong.”
“Apa?” tanya Ivan.
“Aku pengen ketemu sama Tika.”
Ivan terkejut. Namun kemudian pemuda itu tersenyum. Maklum.
“Aku bantuin.”
^^^
Minggu-minggu ini semua anak disibukkan dengan adanya ujian sekolah dan ujian praktek. Zia sedikit melupakan rasa cemburu yang sebenarnya dia pendam untuk Winna.
Fandi sebenarnya tidak semudah itu melupakan kata-kata yang di ucapkan Winna waktu itu. Tapi ia mencoba berkonsentrasi pada ujiannya dan mengesampingkan masalah itu untuk sementara waktu.
Winna belum berbicara sama sekali pada Fandi sejak pembicaraan mereka di taksi. Agak khawatir juga sebenarnya,  gadis ini. Apalagi besok ia dan Fandi harus pergi untuk menengok lokasi pemotretan. Winna menyingkirkan masalah Fandi dan Tika dari otaknya untuk sementara. Ia ingin berkonsentrasi dengan ujiannya.
Siang ini ujian tulis agama baru selesai. Winna menyalakan hp-nya. Baru saja hidup, ada sebuah telepon masuk dari nomor tak dikenal.
“Hallo.”
“Ini Tika.”
Winna terkejut. Dengan terburu-buru Winna mengambil tasnya dan menyingkir dari teman-temannya.
^^^
Kedua gadis ini duduk di dalam cafe tempat mereka bertemu tempo hari. Penampilan keduanya bia dibilang agak kontras walaupun mereka sama-sama memakai seragam sekolah.
“Aku di kontak Ivan. Dia bilang ada yang mau kamu bicarain sama aku. Apa?”
Winna menelan ludah. Bingung harus memulai dari mana. “Aku udah tau soal dulu kamu dekat sama Fandi. Aku juga tahu soal kecelakaan itu.”
Tika mengangkat alis. “Kamu kayaknya udah tahu semuanya. Apalagi yang mau kamu tahu?”
“Kamu tahu, Tik. Fandi, walaupun dia selalu berlagak tenang dan memasang topeng cool di wajahnya, dia selalu khawatir. Dia selama ini nggak bisa melangkah maju. Mencari cinta yang baru dan menutup lembaran yang lama.
Dia nggak bisa melakukan itu. Karena lembaran lamanya belum tertutup sempurna. Karena itu, aku hari ini datang untuk minta tolong. Tolong tutup lembaran lama kamu sama Fandi. Agar dia bisa maju lagi.”
Tika terdiam sejenak. “Kenapa kamu minta hal itu sama aku?”
“Aku bukannya ikut campur. Aku cuma nggak mau dia terkurung terus karena masa lalu yang belum berakhir dengan sempurna.”
Senyum tipis tersungging dibibir Tika. “Aku akan lakuin itu. Bukan demi kamu, tapi buat diriku sendiri.”
^^^
Fandi, Ardi dan lainnya sedang berada di perpustakaan sekolah. Menyusun bahan untuk praktek Bahasa jawa dan bahasa Indonesia. Fandi membuka-buka lembaran koran dengan bosan.
“Kenapa tema pidato buat bahasa Indonesia musti sosial sih? Aku nggak tahu harus ngomong apa,” celetuk Ardi.
Fandi tersenyum tipis mendengar komentar temannya itu. Hp-nya bergetar pelan. Ada sms masuk. Dari Tika.
^^^
Dua sejoli itu berjalan beriringan di alun-alun kota. Keduanya masih memakai seragam sekolah.
“Fan, aku inget waktu kamu pertama kali motret aku di sini. Aku masih simpen fotonya. Aku suka banget foto itu.”
Fandi tersenyum. “Aku juga inget. Kamu cewek pertama yang aku sukai. Dan orang pertama yang aku foto setelah ayahku nggak ada.”
“Tapi perpisahan kita nggak sebaik saat itu,” Tika tersenyum getir.
“Aku nggak mau ngungkit saat-saat itu, Tik.”
Tika balik menatapnya. “Aku juga. Sekarang aku cuma mau mengakhiri semuanya. Dengan cara yang jauh lebih baik lagi dari waktu itu. Aku mau minta maaf sama kamu. Karena nggak pernah ngehubingin kamu lagi setelah kejadian waktu itu.”
 Fandi balas tersenyum getir. “Ya. Aku juga. Aku pengen kita ngakhirin semua ini. Dengan lebih baik.”
Kemudian keduanya terdiam tanpa bicara. Kemudian Tika membuka suara.
“Kamu harus terima kasih sama Winna buat semua ini.”
Fandi menatanya dengan bingung.
“Dia udah membuka mataku. Dan kamu harus berterima kasih sama dia.”

bersambung...