Story - Part 4

Di goreskan oleh Yunna , Kamis, 03 Februari 2011 11.00

7


Widhi memandang ke arah Alin dengan capek. Sudah sejam pembicaraan mereka tak juga selesai. Sejak mereka pacaran dua bulan lalu, Widhi kadang tak pernah bisa mengerti apa yang di inginkan pacarnya.
“Ayo dong! Anterin aku dulu,” Alin merajuk dengan suara kesal.
Widhi memilih tak menjawab. Kemudian ia sekilas menoleh, merasa sedang diperhatikan. Benar saja. Ia melihat Winna baru saja membalikkan badan dan pergi. Winna melihatnya.
Kadang ada rasa bersalah hinggap di hatinya. Dulu ia memang suka Winna. Menurutnya Winna itu istimewa. Ekspresinya yang sangat mudah berubah begitu menarik di matanya. Senyumnya yang lebar saat menyapa semua teman-temannya.
Entah sejak kapan ia mulai memperhatikan tiap detil kebiasaan gadis itu. Mereka berpisah saat kenaikan kelas. Gap dan jarak antara kelas IPA dan IPS membuatnya seringkali berpikir ulang. Dan Widhi memutuskan untuk melupakan Winna.
Tapi ia juga tahu, terkadang Winna masih sering memandang ke arahnya. Atau menghindar saat tatapan mata mereka bertemu. Atau bahkan terkejut dan pergi saat tiba-tiba mereka bertemu seperti sekarang.
Widhi menghela nafas lagi. Maafin aku, Win. Ucapnya pelan dalam hati.
“Jadi anterin nggak?” suara pacarnya, Alin mengangetkan Widhi.
Sejurus kemudian Widhi mengangguk. “Iya. Aku ambil helm dulu. Bentar.”
^^^
Winna menyebrang jalan dengan buru-buru. Nyaris saja sebuah mobil menabraknya. Suara klakson mobil yang memekakkan telinga sdikit menyadarkannya. Hatinya agak sakit. Ia sudah berkomitmen dengandirinya sendiri untuk melupakan Widhi.
Tapi kenapa sekarang? Di saat ia mulai bisa melepas bayang-bayangnya, Winna malah bertemu dengan Widhi dan juga pacarnya itu. Hatinya serasa remuk. Ia ingin menjerit dan menangis. Tapi ditahannya dengan sekuat tenaga.
Dihelanya nafas panjang. Mencoba menenangkan diri sebisanya. Berusaha keras agar tak menangis di pinggir jalan.

Fandi menghentikan motor di pinggir jalan, di depan Winna. Gadis itu duduk di pinggir pagar sekolah sambil menunduk. Hanya dengan melihat reaksi Winna dan Widhi, Fandi sudah bisa membaca semuanya.
‘Seseorang’ yang sulit diungkapkan Winna dengan tulisan itu sudah pasti Widhi. Dan mungkin sampai sekarang Winna masih belum bisa melupakannya.
Fandi bergerak turun dari motor. Perlahan ia mendekati Winna dan melepas jaketnya. Kemudian jaket itu digunakannya untuk menutupi wajah dan kepala Winna. Gadis itu kaget, tapi tak bergerak.
“Nangis. Kalau kamu pengen nangis nangis aja. Anggap aku nggak ada. Anggap kamu bukan di pinggir jalan dan nggak akan ada yang liat kamu.”
Setelah mendengar ucapan Fandi, perlahan bahu Winna mulai bergetar. Air matanya meluncur turun. Tangannya bergerak menutupi wajah. Tangisnya pecah.
^^^
Zia keluar dari toko buku dengan kesal. Adiknya minta dibelikan crayon dan macam-macam perlatan menggambar lainnya. Menguras isi kantongnya hanya dalam sekali belanja.
Sambil berjalan menuju motornya, dalam hati Zia menghitung sisa uang yang masih ada di dalam dompetnya.
“Menyebalkan,”gerutunya pelan. Tangannya bergerak, menggantungkan tas plastik  berisi pesanan adiknya.
Zia naik ke motornya, dan memasukkan kunci kontak. Belum sempat ia memutarnya, mata Zia menangkap sesuatu yang lain.
Motor supra x merah itu sudah pasti milik Fandi. Pemiliknya berdiri di trotoar dan membelakangi Zia. Tampaknya dia sedang melihat sesuatu. Ada tatapan sedih di matanya. Pandangan Zia bergeser, memandang apa yang ada di balik tubuh Fandi. Ia melihat seorang gadis duduk di pinggir pagar. Sepertinya sedang menangis. Jaket menutupi wajahnya, tapi dengan mudah Zia mengenalinya. Itu Winna.
Hatinya mencelos lagi. Sedih.
Tak ada yang menyangka kalau Fandi berbuat seperti itu pada seorang gadis. Melindungi seorang wanita yang menangis di pinggir jalan. Danmemandangnya dengan tatapan yang sanggup membuat wanita terpana.
Tiba-tiba Zia ingin menangis. Ditutupnya kaca helm, dinyalakannya mesin motor dan bergegas pergi sebelum ia benar-benar menangis.
^^^
Fandi menatap Winna dengan agak cemas. Langit sudah berubah gelap sejak 15 menit yang lalu. Tapi Winna sepertinya belum berniat beranjak dari tempatnya. Bahunya masih agak bergetar karena tangisnya.
Fandi berjongkok, meraih tas Winna. Kalau ia tidak salah, Winna selalu membawa tissue di dalam tasnya. Benar saja. Ia menemukannya. Ditariknya dua lembar tissue. Kemudian disodorkannya kepada Winna.
Winna mengangkat sedikit kepalanya, kemudian menerima tissue yang di sodorkan Fandi.
“Kenapa?” suara Winna masih terdengar serak.
Fandi tersenyum. “Aku bukan cowok yang bakal mbiarin cewek nangis di pinggir jalan. Apalagi karena cowok lain. Aku masih punya perasaan.”
Winna menurunkan jaket dari kepalanya, kemudian mendongak dan menatap Fandi. “Makasih,” lirihnya lagi.
“Aku anterin kamu pulang. Kamu bisa berdiri?” Fandi mengulurkan sebelah tangannya.
Winna menolak uluran tangan Fandi dan berdiri sendiri. Meraih tasnya.
Fandi memakai helmnya. Kemudian menyodorkan helm kepada Winna. Dengan hati-hati gadis itu memakai helm. Fandi memperhatiakan wajah cantik yang sedang bersedih didepannya. Wajahnya agak pucat dan kantung matanya agak terlihat.
Mesin motor menyala, dan Winna naik ke belakang Fandi. “Udah siap?”
“Iya,” suara Winna terdengar lirih.
Motor melaju dengan kecepatan rendah. Fandi ingin lebih lama menikmati waktunya. Tak ingin membiarkan gadis dibelakangnya ini sendirian. Kemudian ia merasakan kepala Winna bersandar di punggungnya.
Tak bisa di pungkiri lagi. Ia bahagia.
^^^
Fandi menghentikan motor di depan rumah Winna. Winna turun dan melepas helmnya.
“Makasih Fan. Makasih buat semuanya.”
Fandi tersenyum. “Sama-sama. Kamu nggak papa kan?”
Winna mengangguk. Kemudian membuka gerbang rumah dan beranjak masuk tanpa kata-kata. Fandi terus menatap punggung Winna sampai gadis itu masuk ke dalam rumah. Berdoa semoga dia akan baik-baik saja. Berdoa semoga dia tak terluka lagi.
^^^
Setelah mandi dan menyegarkan tubuh, Winna langsung masuk ke dalam kamr tanpa berkata apa-apa kepada orang tuanya. Ia tidak ingin membuat mereka khawatir berlebihan padanya.
Winna menatap wajahnya di depan cermin. Wajah habis menangis jelas terlihat di sana. Ia menggigit bibir. Teringat kejadian tadi. Entah apa jadinya ia kalau Fandi tidak datang tadi. Mungkin ia sudah dikira orang gila karena menangis di pinggir jalan.
Fandi.
Winna tersenyum mengingat pemuda itu. Dia cuek. Tapi sebenarnya sangat baik hati dan penuh perhatian pada perempuan. Dengan sabar tadi ia menunggunya menangis dan mengantarnya pulang setelah itu.
Winna menuju meja belajarnya. Membuka lemari dan mengeluarkan laptop. Menyalakannya dan mulai menulis.

Kali ini aku sakit.
Aku terluka karena dia dan durinya.
Aku menangis.

Air mataku bagai sungai.
Sungai yang ingin kupakai untuk menghanyutkanmu.
Membawamu jauh dari semua kehidupanku.

Di manakah obatnya?
Obat dari duri yang kau tancapkan.
Duri yang merobek hatiku dan mengucurkan semua perasaanku.

Di mana aku harus mencari?
Di hatimu?
Atau di hatinya?

“Mungkin aku sudah menemukannya,” ucap Winna lirih sambil tersenyum.


8


Hari minggu yang tenang. Winna bertemu Putri di salah satu cafe di pinggiran kota. Jalanan siang terlihat sepi. Putri menatap wajah sepupunya dengan lekat. Mencoba menebak apa yang terjadi. Apa yang baru di alami Winna.
Wajah Winna tidak seperti biasanya. Mendung. Kantung di bawah matanya menjelaskan pada Putri bahwa sepupunya ini habis menangis. Wajahnya agak pucat, membuat Putri sedikit khawatir.
“Win,” Putri membuka suara, “kamu kenapa? Ada yang mau kamu ceritain sama aku?”
Winna mengangguk. “Banyak. Banyak banget Put. Aku bingung harus mulai dari mana.”
“Sebaiknya sih mulai dari hal yang paling berat menuju ke hal yang paling ringan.”
Winna menghela nafas, bersiap memulai ceritanya.
“Kemarin aku ketemu Widhi Put. Dia gak cuma sendirian aja. Dia sama pacarnya. Aku kaget Put. Kaget banget. Aku bener-bener pengen nangis. Dan kau langsung pergi, kelau sekolah.
Satu hal yang nggak aku duga. Fandi ngikutin. Dia nolongin dan nutupin aku sementara aku nangis. Dia nglindungin aku,” cerita Winna sedikit terputus.
“Dia nungguin sampe aku berhenti nangis. Sampe aku capek nangis. Setelah itu dia nganterin aku pulang. Kalau boleh jujur sih, aku terharu banget. Aku bener-bener nggak nyangka ternyata dia sebaik itu.”
Winna sedikit berkaca-kaca saat menyelesaikan ceritanya. Putri terdiam sejenak. Bingung harus mengatakan apa pada sepupunya itu.
“Win, itu berarti Fandi perhatian sama kamu. Dia punya sisi baik yang mungkin gak setiap saat dia tunjukin ke orang lain. Dan kamu beruntung bisa ngerasain sisi baiknya itu,” Putri mencoba berpendapat.
^^^
Fandi membuat kesalahan lagi. Ini sudah ketiga kalinya Fandi merusakkan foto. Fandi menghela nafas. Meletakkan kertas foto yang rusak itu. Bena mendekati Fandi dan menepuk bahunya. Begitu juga dengan Rofik.
“Istirahat aja dulu. Kamu kayaknya lagi nggak konsen ya Fan? Aku mau ambil minum dulu,” Rofik menepuk bahunya dua kali, kemudian keluar dari ruang gelap bersama Bena.
Ruangan itu terasa sepi. Merasa tidak enak, Ivan menggantung foto yang sedang dicetaknya dan mendekati Fandi. Ia tahu ada yang tak beres dengan sahabatnya itu dan mulai membuka suara.
“Kenapa Fan? Kayak bukan kamu yang biasa aja,” timpalnya ringan.
Fandi memandangnya dengan tatapan minta tolong. “Van, kalau kamu tiba-tiba jadi perhatian dan selalu pengen nolong seorang cewek yang sebelumnya cuma kamu kenal biasa aja, apa artinya?”
“Kamu jadi gak pengen liat dia sedih. Dan kemu seolah ingin nanggung semua yang dia rasain juga,” lanjut Fandi kemudian.
Ivan berpikir sebentar. “Kalau aku sih,” ucapnya kemudian, “Mungkin udah mengira itu cinta. Apalagi coba kalau bukan cinta.”
“Kamu,” ucapan Ivan terputus sejenak, “Lagi suka sama seseorang?” tanyanya lagi dengan hati-hati.
Fandi mengacak rambutnya. “Itu dia. Aku lagi bingung sekarang, Van.”
Ivan mengangguk-angguk.
“Kalau gitu tunggu aja sampai waktu mengatakan padamu itu cinta apa bukan.”
Fandi terdiam. Kata-kata polos sahabatnya itu memang benar. Sangat benar. Kalau ia sekarang belum bisa menemukan artinya sekarang, mungkin nanti waktu akan membukanya padanya secara perlahan.
Fandi akan menunggu.
^^^
“Put, mungkin kali ini aku jatuh cinta.”
Putri terkejut dengan perkataan saudaranya itu. Matanya mencoba mencari unsur bercanda di balik mata bening Winna. Winna sepertinya serius.
“Kalau itu cinta, kamu harus menerimanya. Sabar menerimanya sampai cinta itu benar-benar menyambutmu,” Putri tersenyum.
Setelah itu keduanya terdiam. Membiarkan susana sekitar menyerap ke dalam diri mereka.
Putri menatap saudaranya lagi dengan penuh kasih sayang. Ia selalu berharap yang terbaik untuk Winna. Semoga kali ini bukan hanya cinta moyet yang akan membawa tangisan. Tapi cinta yang membawa kebahagiaan.
Ya...
Kebahagiaan untuk sepupunya. Kebahagiaan yang tidak akan membuatnya menangis lagi. Putri menantikan hal itu.
^^^
Zia memakan kripik kentang sambil menonton tv dengan gelisah. Ia bingung harus bagaimana menentukan apa yang akan di lakukannya. Memusuhi Winna seperti disinetron yang sering di tontonnya? Atau langsung memaafkan Winna dan bersikap seolah tak ada apa-apa?
Zia tak bisa melakukan keduanya. Winna adalah salah satu sahabat terbaiknya. Ia tidk bisa memusuhinya. Tapi Zia juga tak bisa bersikap seolah tak ada apa-apa. Zia menggigit bibir. Ada banyak kemungkinan yang berkecamuk di dalam hatinya.
Ia bingung.
^^^

Ketika waktu bergerak dengan begitu cepat.
Kami bingung.
Ketika waktu bergerak begitu lambat.
Kami bingung.
Ketika waktu berhenti dan mempermainkan kami.
Kami tak bisa berbuat apapun.

Menunggu waktu yang memberi jawaban.
Menunggu waktu memberi tanggapan atas kebingungan kami.

Kami akan menunggu...

0 Response to "Story - Part 4"