Story - Part 5

Di goreskan oleh Yunna , Jumat, 04 Februari 2011 11.00

9


Winna terbangun dengan kepala pusing. Disibaknya selimut, kemudian ia duduk di tepi tempat tidur. Kemudian ia menatap bayangannya sendiri di cermin yang ada di seberang tempat tidurnya.
Wajahnya masih agak pucat. Winna menjilat bibirnya yang terasa agak kering. Setelah mengumpulkan tenaganya, Winna bangkit dan membereskan buku-buku yang harus dibawanya.
Setelah beres dengan urusan peralatan sekolah, Winna beranjak mandi. Sepertinya ia butuh keramas untuk menghilangkan pusing di kepalanya.

Winna mengibaskan rambutnya yang setengah basah ke punggung. Kemudian meraih lip gloss dan mengoleskannya ke bibirnya, agar tak terlihat terlalu pucat. Disisirnya rambut sekali lagi. Memastikan penampilannya baik-baik saja. Kemudian beranjak keluar kamar untuk sarapan.
Ibunya meletakkan piring berisi omelet ke atas meja. Tersenyum menyambutnya.
“Pagi sayang. Mau minum susu apa nggak?”
Winna mengangguk dan duduk. Meraih piring yang sudah berisi nasi dan memakannya perlahan dan hati-hati. Ibunya meletakkan gelas berisi susu di samping piringnya. Tak ketinggalan gelas air putih dan vitamin.
“Biar kamu nggak gampang capek,” jelas ibunya sebelum Winna bertanya.
Ibu memandang putrinya yang sedang sarapan dengan penuh kasih sayang. Ia memang tak tahu apa yang terjadi pada anaknya tempo hari. Tapi ibu selalu berharap yang terbaik untuk Winna.
^^^
Mungkin hampir tak ada yang menyadarinya. Tapi sebulan terakhir ini hubungan Winna dan Zia sudah tak sedekat dulu. Tak ada lagi sesi curhat dan mengobrol berdua diantara mereka.
Zia tetap berusaha menjadi dirinya sendiri. Tetap Zia yang baik dan perhatian pada semua orang. Sedangkan Winna tetap sibuk mengejar ketertinggalannya dalam pelajaran sambil terus mengurus yearbook yang sudah hampir masuk sesi pemotretan.
Diam-diam Zia bersyukur. Kesibukkan semuanya dalam menyiapkan ujian akhir bulan Maret nanti membuat mereka tak ada yang menyadari bahwa ia sedang berusaha menjaga jarak dengan Winna.
Bukan apa-apa. Zia hanya tidak ingin hatinya luka lagi. Ia sedang belajar merelakan Fandi untuk Winna jika memang perlu.
“Zia, temenin ke kantin yuk!” Ina mengamit lengan Zia dan mengajaknya pergi.
Zia menurut. Matanya melirik Winna. Gadis itu sedang membaca sebuah majalah fashion bersama Rara, teman sebangkunya.
Zia menghela nafas, berharap apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang benar. Bukan salah.
^^^
Fandi melirik ke arah Zia yang keluar kelas bersama Ina. Ada yang berbeda dari tingkah laku gadis kalem itu. Seolah sedang berusaha menghindari Winna. Atau itu mungkin hanya perasaannya saja.
“Woi,” tegur Ardi, “Melamun. Liat siapa sih?”
Fandi menggeleng. “Nggak liat siapa-siapa.”
Ardi mencibir. Tidak percaya dengan apa yang diucapkan teman sebangkunya itu. Kemudian otaknya berjalan lagi, menemukan topik pembicaraan yang menarik.
“Fan, kayaknya kamu lagi deket sama Winna ya?”
Fandi menoleh. “Kita sama-sama ngurus yearbook. Wajar kan deket.”
Ardi menggerak-gerakkan jari telunjuknya. “Ck ck ck... aku nggak sebuta itu. Kalian sering ketemu di luar waktu pelajaran, dan kamu sering banget nganterin dia pulang. Aneh kalo nggak ada apa-apa.”
“Emang nggak ada apa-apa. Kita cuma rekan kerja.”
Ardi masih sangsi dengan jawaban Fandi.”Tapi kayaknya kamu perhatian banget sama dia. Aku bisa liat itu.”
Fandi mengacuhkan pernyataan Ardi. “Terserah...”
“Tapi serius,” ucap Ardi lagi, “Kalau aku ada di posisimu, aku pasti bakal pdkt sama dia.”
Fandi menatapnya tanpa ekspresi. “Oh, yah.”
Ardi meraih bahu Fandi dan membuat Fandi menatapnya. “Jangan bilang kamu nggak sadar kalau dia itu banyak penggemarnya juga.”
“Yang bener?”
“She is pretty. Dan selalu jadi dirinya. Nggak pernah pura-pura.”
Kali ini Fandi diam. Dalam hati mengakui juga apa yang baru saja di bilang Ardi. Winna memang manis. Dan dia tak pernah pura-pura dalam kesehariannya.
“Jelas kamu nggak sadar. Pacarmu cuma satu, kameramu,” Ardi memandang sahabatnya dengan malas.
Fandi tertawa. “Itu bener. Tapi bukan berarti aku nggak pernah jatuh cinta.”
“Oh ya?” kali ini Ardi antusias, “Sama siapa?”
“Hantu.”
Jawaban Fandi yang ngawur membuat Ardi membatlkan antusiasmenya dan diam.
Sementara itu Fandi mulai berpikir lagi. Memang yang dikatakannya tadi bukanlah bercanda. Dulu ia pernah jatuh cinta yang serius. Dan terkadang sampai sekarang bayang-bayang gadis masih tertanam erat. Dan sekarang bayangan gadis itu sedang bersaing dengan bayangan lain yang perlahan masuk ke pikirannya.
Sampai sekarang ia masih belum menemukannya. Apa sih cinta?
Bagaimana kau mendefinisikannya?
^^^
Winna menumpang duduk di sekre jurnalistik siang itu. Kedua telinganya disumbat earphone dan kelapanya rebah di meja. Tangan kanannya memegang pulpen dan mulai mencoret-coret kertas hvs kosong di sebelahnya.

Apa yang membuatmu memahami cinta?
Apa yang membuatmu yakin bahwa ia mengikutimu?
Apa yang membuatmu tahu bahwa itu cinta?

Manusia tak pernah menghargai cinta.
Kau diberi, malah kau buang.
Saat itu sudah hilang, kau akan mencarinya.

Saat ini aku memulai lagi pencarian atasnya.
Mencoba menelusuri jalan baru untuk menggapainya.
Karena aku ingin menemukan yang baru.

Menemukan yang cinta yang sebelumnya tak pernah aku tahu.
Mencoba merasakan sebelum aku hilang.

Tepat saat Winna menyelesaikan puisi itu, Cendana, adik kelasnya menghampiri dan duduk di hadapannya.
“Mbak, aku lagi butuh puisi nih buat majalah minggu ini. Cari di mana ya kira-kira?”
Winna mencabut sebelah earphonenya dan mengangkat kertas hvs itu ke depan muka Cendana, melambaikannya.
“Nih, kalau kamu mau pakai aja. Aku pulang dulu.” Winna beranjak bangun dan mengambil tasnya. Ada satu hal yang ingin dia pastikan dan ingin dia cari tahu. Sebelum terlambat, ia harus tahu.
Cendana menatap bingung kertas yang diterimanya kemudian berdiri dan menuju pintu. “Hati-hati ya, Mbak...”
Kemudian Cendana membaca apa yang tertulis di sana. Tulisan tangan Winna memang tak begitu jelas karena ditulis sambil tiduran. Senyum langsung tersungging di bibir gadis berkerudung ini. Dengan cepat dia masuk dan memberi perintah pada temn-temannya yang lain agar cepat bekerja.
“Kita ubah tema minggu ini jadi cinta. Aku dapet puisi yang matching.”
Majalah minggu ini pasti akan menarik. Batinnya.
^^^
Winna duduk di salah satu cafe kecil, tak jauh dari studio foto tempat Fandi biasa mencetak foto. Cafe itu agak ramai sore ini. Pengunjungnya didominasi anak-anak SMP atu SMA sepertinya.
Dikeluarkannya hp dan dibukanya contact list. Belum sempat dia mendial nomor Fandi, orang yang dimaksud sudah menelepon duluan.
“Kamu di mana?”
“Di cafe. Deket studio alam.”
“Aku ke sana sekarang. Jangan ke mana-mana.”
Kemudian telepon diputus. Winna belum sempat berkata apa-apa. Kalau tidak sala dengar Fandi bilang akan ke sini. Tanpa sadar jantungnya berdegup lebih kencang. Winna menarik nafas panjang.

Tidak sampai 10 menit, Fandi sampai. Diparkirnya motor di pinggir jalan dan masuk. Di lihatnya Winna duduk di sebuah meja yang trletak di sudut, melamun. Fandi mempercepat langkahnya. Kemudian duduk.
Winna masih belum menyadari kehadirannya. Kesal karena orang yang seharusnya jadi lawan bicaranya melamun, Fandi melambaikan tangan di depan wajah Winna.
Gadis itu mengerjabkan matanya. Tersadar dari lamunan.
“Oh, hai Fan,” sapanya kikuk, “baru sampai?”
Fandi mengangkat alis. “Iya. Dan langsung di cuekin sama kamu. Melamun apa?”
Winna menggeleng dengan cepat. “Nggak. Bukan apa-apa.”
“Jadi kenapa?”
Winna mengeluarkan notesnya, menyodorkannya pada Fandi. “Jadwal pemotretan. Tinggal pilih hari yang pas, dan semua anak bisa.”
Fandi membacanya tanpa suara. “Oke,” jawabnya kemudian.
Kemudian hening. Fandi masih membaca jadwal yang disodorkan Winna. Sementara gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Matanya melihat sosok lain masuk ke dalam cafe bersama teman-temannya. Winna berikir sejenak. Itu, kalau tidak salah anak 9 A dulu. Teman SMPnya juga Fandi.
Winna berdiri, kemudian menyapa sosok cantik yang hendak melewatinya itu. “Tika?”
Tika yang sedang berjalan menghentikan langkahnya. Matanya mengamati orang yang menyapanya barusan. Dan Tika langsung tersenyum. “Winna ya? Kamu banyak berubah ya...”
“Dan kamu selalu cantik,” balas Winna sambil tersenyum.
Tika memandang Winna. Penampilannnya masih casual seperti dulu. Yang berubah hanyalah rambut bergelombangnya yang kini dibiarkan semakin panjang. Kemudian Tika menyadari ada orang lain.
“Fandi?” sapanya lembut.
Fandi membasahi bibirnya yang tiba-tiba terasa kering. Ia tersenyum sebisanya. “Hai Tik.”
Melihat Tika tersenyum padanya, membuat Fandi kikuk. Ia bingung harus apa.
“Kok kalian bisa bareng? Jangan-jangan ada apa-apa nih,” sahut Tika dengan nada bercanda.
Fandi melirik Winna. Winna langsung menggeleng dengan cepat.
“Aku sama Winna sama-sama jadi koordinator buat yearbook,” Fandi menjawab sebelum Winna sempat menjawab.
Winna hanya tersenyum. Kemudian Tika menyahut, “Aku duduk di sana ya? Duluan.”
“Silakan,” Winna tersenyum.

Setelah Tika berlalu, Winna kembali duduk di tempatnya. Bisa dilihatnya, Fandi tak setenang tadi. Ada raut wajah cemas, takut dan rindu yang ditangkapnya. Winna langsung mengerti dengan sendirinya, tanpa harus dijelaskan. Sepasang mata Fandi juga tidak bisa lepas menatap sosok cantik itu. Winna merasa bodoh. Menyesal sudah menyapa Tika tadi.
Mungkin jika tak menyapanya, sekarang ia tidak akan merasa semenyesal ini. Lebih baik ia tidak tahu apa-apa tentang hal ini.
Ia tahu, siapa yang pernah mengisi hati Fandi selain fotografi, seperti yang dulu pernah dibilang Fandi padanya. Mungkin dulu. Dan sampai sekarang masih. Entah kenapa tiba-tiba Winna merasa salah tempat. Ia ingin pulang.



10


Winna termenung di kantin sekolah yang ramai di akhir minggu ini. Novel yang dipegangnya hanya menjadi hiasan tanpa dibaca sedikitpun. Jus melon di depnnya juga menganggur, belum disentuh sedikitpun. Rara menatap Winna dengan gemas.
“Win,” tegurnya, “kamu mau minum, baca, atau melamun sih?”
Winna tersadar. “Sori. Ada yang lagi aku pikirin.”
“Kamu? Mikir? Yang bener aja,” ejek Rara.
“Serius,” Winna cemberut.
Rara tertawa melihat reaksi temannya. “Oke deh... mikir apa emangnya? Pasti bukan pelajaran kan?”
“Emang sih,” Winna mengaku. Kemudian diam karena ragu akan hal yang ingin ditanyakannya.
“Ra, kamu kan ratu gosip ya. Pernah denger ini nggak,” Winna mendekat ke arah Rara. “Pernah denger nggak kalau Fandi punya pacar?” tanyanya ragu-ragu.
Rara terbelalak mendengar pertanyaan Winna. Tak menyangka Winna akan bertanya hal seperti itu. Kemudian ia tersenyum penuh kemenangan.
“Kok tahu-tahu tanya gitu? Jangan-jangan kamu suka ya? Pengen diem-diem ngincer dia?”
Winna langsung kelabakan. “Bukan! Eh, maksudku nggak! Aku cuma pengen tahu aja.”
Rara memanyunkan bibirnya, ragu dengan jawaban Winna. Tapi dia menjawab pertanyaannya juga. “Sekarang sih katanya nggak ada. Tapi beberapa bilang kalau dulu dia pernah deket sama seorang cewek. Cantik banget katanya. Aku sih nggak tau siapa,” Rara mengangkat bahu. Winna terdiam.
“Tanya sama orangnya aja langsung,” sambung Rara.
Winna melotot. “Yang bener aja. Nggak mungkin!”
“Kalau kamu pede mungkin aja tuh. Kayak aku dong, pede.”
Winna mencibir. Tak ada gunanya lagi bertanya pada temannya itu. Sesungguhnya Winna sudah menemukan jawaban siapa yang pernah mengisi hati Fandi. Ia hanya perlu kepastian.
Otaknya mulai berpikir. Siapa orang yang kira-kira tahu semuanya. Ardi? Spertinya tidak. Fandi tak akan bercerita tentang hal sensitif begitu pada Ardi. Ivan. Ya, Ivan pasti tahu.
Ia akan menguhubungi Ivan secepatnya. Secepat yang ia bisa.
^^^
Ivan menguap. Mengantuk. Semalaman ia begadang mengedit foto yang sekarang ada di tangan Fandi dan Bena. Sampai-sampai ia rela tertidur dan dimarahi habis-habisan saat di kelas tadi. Ada seyuman penuh kemenangan di antara wajah ngantuknya.
“Keren Van, ngambil dimana nih foto?” Fandi bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari foto itu.
Ivan tersenyum lebar. “Konser musik underground bulan kemarin. Tapi baru tadi malem aku inget dan tak edit.”
“Fotomu mana Fan? Katanya hari ini mau dibawa?” tanya Bena.
Fandi tersenyum kikuk. “Belum selesai aku edit. Kemarin agak,” ucapannya terputus sejenak, “pusing.”
Ivan mengangkat alis menatap Fandi. Ada yang tidak beres pada temannya itu. Sepertinya sudah terjadi sesuatu. Sesuatu yang sangat mengganggunya. Karena Fandi tidak akan meninggalkan janji untuk mengedit foto. Kecuali ada sesuatu yang membuatnya gundah.
“Sayang. Padahal aku penasaran,” sambung Bena lagi, “jadi liat tripodnya gak Fan? Ke dalem yuk.”
Fandi berjalan masuk, mengikuti Bena.
Ivan mengambil alih laptop Fandi. Membuka folder demi folder foto yang ada di sana. Hasil foto Fandi selalu mengagumkan. Seperti tercipta untuk menonjol. Sayang jika bakat ini tidak diteruskan ke dunia profesional.
Ivan melihat sebuah folder yang berjudul ‘W’. Ia melirik kanan dan kiri. Fandi masih di dalam bersama Bena. Dibukanya folder itu. Kemudian nafas Ivan serasa tertahan.
Isi folder itu adalah foto-foto seorang gadis. Wajahnya memang tak terlihat terlalu jelas. Foto-foto awalnya adalah foto di sebuah koridor panjang. Gadis itu berjalan sambil menunduk, dengan helm yang masih di pakainya. Di ambil dalam jarak yang agak jauh.
Kemudian foto di dalam sebuah ruangan kelas, menurut Ivan. Yang menjadi obyek utama adalah siluet tubuh seorang gadis yang merebahkan kepala di atas meja, mungkin tertidur. Cahaya menyoroti tubuh gadis itu dari samping. Memburamkan wajahnya.
Foto-foto terakhir memecahkan misteri siapa sang model itu.
Kali ini fotonya bertempat di sebuah ruang kelas lagi. Modelnya lagi-lagi tertidur di atas meja. Rambut panjangya bergelombang dan dibiarkan tergerai bebas, membingkai wajahnya yang tenang.
Ivan mengenali wajah itu. Winna.
Biasanya Fandi tidak pernah mengambil gambar model wanita. Kecuali kalau ternyata Fandi menyukainya. Seperti dulu. Saat Tika masih bersamanya. Ivan tak ingin menduga-duga lagi.
Suara tirai yang disibak mengejutkan Ivan. Secepat kilat di tutupnya folder itu.
Fandi masuk bersama Bena dengan membawa sebuah tripod. Ivan memaksakan diri tersenyum.
“Gimana tripodnya?”
^^^
Hari sudah semakin sore. Matahari semakin condong ke barat. Winna sedang menemani Putri di sebuah rental video langganan mereka. Winna mendecakkan lidah dengan kesal. Ia ingin pulang.
Dengan langkah cepat Putri menghampiri deretan new release. Memperhatikan tiap judul film yang ada di sana. Winna menunggu di dekat kasir sambil berdoa agar sepupunya itu cepat-cepat menemukan film yang di inginkannya.
Winna memakai cardigannya, menutupi seragam yang dipakainya. Kemudian ia mendengar suara sapaan yang di kenalnya.
“Sore!”
Winna menoleh. Dilihatnya Ivan masuk dan menyapa pegawai di rental itu. Tepat waktu sekali.
Ivan menatap Winna di depannya. “Kok disini Win?”
Winna menunjuk Putri. “Aku nemenin sepupuku. Kamu sendiri?”
“Ah,” Ivan menggaruk kepalanya, “aku paruh waktu di sini. Kalau ada waktu aku kerja.”
Winna tersenyum lagi. “Kamu ada waktu gak Van? Ada hal yang pengin aku tanyain. Tentang Tika”
Ivan melirik ke arah manajernya yang duduk di balik meja kasir. “Ada. Mau pergi sekarang?”
“Kalau kamu nggak keberatan.”
“Bentar ya,” Ivan menghampiri manajernya dan berniat meminta izin. Ementara itu Winna menghampiri Putri.
“Put, aku balik sama temen ya?”
Putri mengangguk tanpa melihat ke arah Winna. “Take care.”
Winna menepuk bahu sepupunya, kemudian menghampiri Ivan yang menunggu di pintu masuk.

bersambung...

0 Response to "Story - Part 5"